Dokpri |
BADAI PASTI BERLALU
DAN KEKAGUMAN UNTUK SANG PROFESOR
(Ketika aku diberi kesempatan untuk menjalani nikmatnya mengajar )
Selepas mengikuti seminar untuk guru di SMA Bakti Ponorogo, yang bertajuk “ Pemanfaatan teknologi Informasi dan Komunikasi Sebagai Media Pembelajaran dan Peningkatan Profesionalisme Guru” saya merasakan suatu kegelisahan yang amat sangat. Saya merasa tidak setuju dan jengkel pada Profesor.Dr.Nyoman S.Degeng, MPd. Salah seorang pembicara dalam Acara tersebut. Saya merasa apa yang selama ini menjadi keyakinan saya, I know What I am Doing, telah dimentahkan oleh beliau.
Selama ini, saya merasa, apa yang telah saya lakukan adalah sesuatu yang paling benar menurut anggapan saya, dan apapun yang akan saya lakukan, saya pasti telah tahu resiko baik buruknya. Tetapi pada acara seminar itu saya betul-betul merasa dijatuhkan dari ketinggian dan terjerembab dalam kubangan.Ceritanya begini :
Saat itu Sang Profesor menuliskan 3 kalimat yang hampir sama, yaitu :
BADAI PASTI BERLALU
BADAI PASTI BERLALU !
BADAI PASTI BERLALU ?
Beliau menawarkan pada peserta seminar untuk memilih salah satu dari ketiga kalimat itu. Untuk kalimat pertama hanya ada 3 orang yang memilihnya. Saya termasuk di antara 30 peserta yang memilih kalimat kedua, sebab saya merasakan suatu keoptimisan dan semangat dalam kalimat itu untuk menghadapi badai, sedangkan kalimat pertama dan ketiga bagi saya adalah suatu ketidakpastian. Sayapun hanya tersenyum simpul ketika untuk kalimat ketiga tidak ada seorang pesertapun yang memilihnya, padahal masih tersisa ratusan peserta yang belum memilih. Ini mengingatkan saya pada siswa-siswa yang ketika ditanya apakah ada yang belum paham, tidak ada yang menjawab, tetapi ketika ditanya apakah semua sudah paham, juga tidak ada yang menjawab. Ternyata sebagai gurupun kami tak jauh berbeda.
Tetapi pada saat Sang professor memberi penjelasan, saya tersenyum kecut, sebab menurut beliau, untuk kalimat pertama, menunjukkan golongan guru-guru yang acuh tak acuh dan tidak ingin melakukan apapun untuk kemajuan pembelajaran. Golongan kedua, adalah orang-orang yang sudah yakin semuanya akan baik-baik saja, sehingga diapun sudah puas dengan pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga juga tidak tergerak untuk melakukan apapun, sedangkan golongan guru ketigalah yang harus menjadi pilihan kami para guru, sebab seorang guru yang merasakan suatu ketidakpastianlah yang akan selalu tergerak untuk melakukan perbaikan dalam pembelajaran dan perubahan pengetahuan untuk mengejar ketertinggalannya. Saya merasa di persimpangan jalan saat itu. Ketika Sang Profesor bertanya, bagaimana, sekarang masih ada yang memilih kalimat pertama dan kedua? Saya hanya termangu. Ketika beliau bertanya apakah semua sudah berubah memilih kalimat yang ketiga? Saya tetap terdiam, meskipun hati saya memprotes. Sebab meskipun saya memilih kalimat yang kedua, saya tetap selalu berusaha memperbaiki pembelajaran yang saya lakukan, bahkan saya berusaha untuk belajar dengan mengikuti seminar ini, sayapun tidak segan-segan untuk mempelajari perkembangan yang terjadi dalam dunia pendidikan, tetapi mengapa saya masih digolongkan pada guru-guru yang tidak ingin melakukan perubahan. Tetapi anehnya, saya tetap manggut-manggut ketika beliau menginginkan semua guru untuk berubah sesuai perkembangan jaman. Sayapun sempat melupakan ketidakenakan di hati saya ketika beliau melanjutkan presentasinya yang menarik, bahkan untuk presentasi selanjutnya bagaimana seharusnya seorang guru mengambil tindakan dalam menghadapi siswanya, saya tetap manggut-manggut dan tertawa, meskipun saya tidak setuju ketika beliau mengilustrasikan untuk menyambut ramah dan sama sekali tidak memberikan sanksi kepada siswa-siswa yang terlambat, maupun siswa-siswa yang tidak mengerjakan PR. Saya menganggap presentasi beliau sebagai lelucon dan intermezzo. Walhasil saya tidak terlalu memikirkan apa yang beliau sampaikan dalam presentasinya. Tetapi saya mencatat presentasi beliau sungguh menarik, bisa mencairkan kejenuhan karena molornya acara yang sampai satu setengah jam, bahkan saya merasa terlibat langsung secara emosional , dan sungguh presentasi yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan pulang, ternyata kegelisahan itu muncul, saya merasa beliau terlalu mengada-ada dengan apa yang telah beliau sampaikan. Bagaimana mungkin guru hanya tersenyum dan bersabar dengan kesalahan-kesalahan siswa, sementara siswa tidak punya tanggung jawab untuk itu.?
Saat ini, saya baca makalah beliau yang telah dibukukan, dan ternyata, di sinilah saya temukan kekaguman itu. Kembali terbayang di pelupuk mata, bagaimana beliau mengemas materi yang seserius ini menjadi sesuatu yang ringan dan segar. Saya menjadi malu, sebab ternyata sewajarnyalah saya digolongkan guru-guru yang tidak mau berubah, sebab saya cenderung mencari kebenaran untuk diri saya sendiri. Saya terlalu angkuh untuk mengakui kekurangan, padahal kalau saya tidak mau mengakui kekurangan, bagaimana saya mengaku ingin melakukan perubahan? Kembali saya tersenyum malu.
Beliau juga sangat bijaksana, untuk mengatakan seorang guru harus sabar, beliau mengilustrasikannya dengan sesuatu yang kontroversial, sebab apa yang selama ini sering dilakukan seorang guru dengan memarahi siswa, kadang dengan emosi tak terkendali, tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah.Saat ini saya betul-betul merasa beruntung mengikuti seminar ini, dan sungguh, saya betul-betul mendapatkan banyak pembelajaran yang berharga dari beliau. Ternyata selama ini saya dibutakan oleh ego saya untuk terlihat selalu benar, sehingga justru tidak bisa menangkap esensi dari pembelajaran yang beliau berikan. Sungguh saya bersyukur, karena saya merasa mendapatkan ilmu yang tak ternilai, bahwa semua akan menjadi inspiratif. Interaktif, memotivasi, menyenangkan dan menantang justru dengan sesuatu yang controversial , tapi dikemas secara santai. Terima kasih, prof !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar