Minggu, 22 Maret 2009

Lagi-lagi pornografi

KERELATIFAN , PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI



Pada waktu saya masih kecil, ayah saya pernah bercerita, Ada 4 orang buta yang belum pernah sekalipun melihat gajah, mereka sepakat untuk mendatangi gajah dan mencari tahu, seperti apa gajah itu. Akhirnya ada orang yang menunjukkan, tempat si gajah berada. Maka mereka dengan gembira meraba-raba. Orang buta pertama, meraba bagian kaki, dan dia berpikir, Ooo gajah itu seperti bumbung, besar, kulitnya tebal dan kenyal. Orang buta ke-2, meraba bagian telinga, dan berpikir, Ooooo gajah itu seperti kipas, tipis, lebar, dan selalu bergerak-gerak. Orang buta ke-3 meraba belalai gajah, dan berpikir, Oooo gajah itu seperti ulat raksasa, dan orang buta ke-4 yang memegang perut berpikir, Oooo gajah itu seperti bedug, tapi besar dan lunak. Kemudian, mereka saling bercerita, tetapi mereka akhirnya bertengkar, karena masing-masing orang mempertahankan pendapatnya sendiri, yang satu berkata gajah seperti kipas, yang lain seperti bumbung, yang lain lagi seperti ulat raksasa, dan satunya seperti bedug. Untunglah datang orang bijaksana yang normal penglihatannya. Ia mengatakan semua benar, tetapi itu hanya bagian-bagian tertentu , dan secara keseluruhan, dijelaskannya, bahwa gajah mempunyai telinga seperti kipas, berbelalai seperti ulat raksasa, berperut besar seperti bedug, dan berkaki seperti bumbung, bahkan mempunyai gading juga. Keempat orang buta itu manggut-manggut dan berterima kasih pada si orang bijak. Sekarang saya baru sadar, bahwa cerita itu mengandung filsafat yang dalam, bahwa bila kita berdebat tentang sesuatu, sebaiknya kita memperhatikan dan menghargai pendapat orang lain, sebab bisa jadi pendapat orang lain juga benar, meski pendapat kita juga tidak salah karena kita melihat sisi yang berbeda dengan sisi yang dilihat oleh orang lain. Seperti halnya pornografi dan pornoaksi, tentu saja sangat dipengaruhi berbagai hal, apakah dalam waktu yang tepat, situasi yang tepat dan kondisi yang cocok.
Pro dan kontra selalu ada, tetapi tanpa batasan yang jelas, polemic itu hanya akan menjadi pepesan kosong, sesuatu yang sia-sia. Mubazir. Seperti halnya Undang-undang tentang Pornografi dan pornoaksi.
Berhubung Negara kita adalah Negara demokratis,
semua orang bebas mengeluarkan pendapat, ada yang pro, ada yang menentang, bahkan ada yang sengaja melecehkan. Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi andai saja ada batasan yang jelas, dan terjadi kesamaan pandangan. Andaikan batasan porno ditetapkan sebagai menampakkan aurat, maka batasan aurat itu sendiri juga harus jelas. Sebab mungkin untuk seorang muslim, dan penganut agama lain jelas berbeda, padahal Indonesia terdiri dari beragam agama dan budaya. Apabila pornoaksi ditetapkan mengundang syahwat, maka juga harus diberi batasan juga, sebab syahwat perempuan dan laki-laki jelas berbeda, bahkan mungkin setiap orang berbeda-beda, ada yang gampang kena setrum, ada yang tidak. Dan yang tak kalah kontroversialnya,adalah seni dan pornografi. Saya mungkin tak tahu apa-apa tentang seni, tapi yang saya tahu, di Pulai Bali banyak ditemukan patung-patung wanita telanjang, dan saya kaget ketika mengamati kentongan di Bali ternyata berbentuk seorang laki-laki, sedang pemukul kentongan itu digambarkan(mohon maaf) alat kelamin laki-laki, yang tepat diselipkan di lubang yang posisinya tepat pada posisi itu. Astaghfirullah! Tapi itu sudah dianggap hal biasa, dan saya pernah diberitahu oleh teman saya yang berjiwa seni, bahwa mereka menganggap seni itu porno, bila mereka mengekspresikan seni dengan menggambarkan visualisasi pasangan yang sedang melakukan aktivitas seksual, tetapi sejauh itu hanya visualisasi tunggal, mereka anggap itu masih bisa diterima, bagaimanapun juga kondisinya. Saya hanya mengangguk-angguk, meski sebenarnya agak kurang paham. Tetapi penjelasan itu menjadi gamblang bagi saya, ketika Inul Daratista dan Uut Permatasari yang sedang bergoyang semau-maunya itu dianggap sebagai pornoaksi.
Mula-mula saya melihat tak ada yang perlu diributkan dengan goyangan mereka, bahkan kelihatan energik dan penuh vitalitas, tetapi ketika ada seorang penonton atau penari latar laki-laki yang mendampingi Inul ataupun Uut dan menirukan gerakan mereka, sambil bergoyang-goyang seolah sedang bermain bersama Inul ataupun Uut, saya menjadi mahfum, itulah pornoaksi. Lain lagi Annisa Bahar, meskipun dia pemain tunggal, tapi saya anggap itulah pornoaksi, sebab bagi saya, Slow motion nya yang patah-patah itulah yang mengundang syahwat.
Begitu juga pornografi, Bila tulisan itu mengandung visualisasi tentang aurat yang seharusnya tertutup, apalagi menggambarkan visualisasi tentang aktivitas seksual itulah pornografi. Lain daripada itu, batasan pornoaksi dan pornografi dalam Islam, tentulah lebih ketat, tapi bagaimanapun, semua itu amatlah relative, tergantung siapa yang memandang, dalam waktu apa, kondisi bagaimana, dan sebagainya, sangat banyak factor yang berpengaruh. Seyogyanya kita saling menghargai pandangan masing-masing, sejauh tidak menimbulkan keresahan bagi pihak lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar