Selasa, 24 November 2009

Renungan di hari Guru







INTROSPEKSI, AROGANSI DAN HUMANISASI






Akhir-akhir ini reputasi guru sedang diuji. Banyak media tak kurang kurangnya memberitakan dosa-dosa para guru. Sebaiknya para guru berintrospeksi. Bahkan tak hanya guru, tapi semua orang, kita semua. Hakim, polisi, dokter, politisi, semuanya harus berinstropeksi.
 Bahkan terkadang, masyarakat menjadi lupa, kejahatan itu sebagai atribut manusia sebagai guru atau guru sebagai individu menjadi rancu. Guru yang berbuat mesum dengan muridnya, guru yang melakukan pelecehan seksual, guru yang menganiaya muridnya, guru yang terlibat perjudian, guru yang menipu, atau masalah pelanggaran kode etik dan profesionalisme guru. Semua tumpah ruah menjadi satu, seperti eforia menjatuhkan martabat guru. Yang masih hangat kasus guru yang membuat soal ujian bermuatan pornografi, sangat kita sayangkan. Meski dari sisi kemanusiaan, kita mungkin bisa sedikit bijak menyikapi, ketika sang guru beralasan tergesa- gesa membuat soal, sedang waktunya mepet, sementara dia kelelahan karena baru saja punya gawe, sehingga asal comot artikel. Tapi masyarakat tak mau tahu, bahkan ada yang meminta sang guru dihukum seberat-beratnya. Sayapun otomatis geram dan mencerca sang guru ketika membaca berita itu, tapi setelah kita pikir, bagaimanapun sibuk dan capeknya sang guru tetap berusaha untuk membuat soal, tetap berusaha profesional dan bertanggung jawab, tidakkah kita menghargai hal itu? Meski pun tentu saja hal seperti itu tidak boleh terulang.

Kasus lain yang baru saya dengar dan lihat di televisi , tentang guru yang diadukan murid-muridnya karena memangkas rapi rambut murid-muridnya yang terlambat. Kepolisian tidak memproses karena tidak cukup bukti adanya penganiyaan seperti yang dilaporkan murid-muridnya. Ketika diminta visum, para murid beralasan tidak punya biaya (???). Belum puas kasusnya ditolak, para murid ramai-ramai mendatangi LBH untuk mengadukan kasusnya. Mungkinkah pendidikan humanisme seperti ini? Semua orang mempunyai hak untuk merasa tidak senang, mengadukan kasus, melaporkan orang lain, tapi tidakkah kita berpikir, ketika hak kita terganggu, kita juga tidak mengganggu hak orang lain? Arogansi muridkah merasa berhak untuk memenjarakan guru? Karena merasa belum pernah diperingatkan, sakit hati dihukum seperti itu. Tapi kalau dibalik, apakah guru juga pernah diperingatkan tentang hukuman yang dilakukannya? Kenapa langsung dilaporkan pada polisi hanya karena memangkas rambut menjadi pendek melanggar hak murid untuk gondrong?? Padahal berapa tahun atau berpuluh-puluh tahun, pernahkah murid sekedar berterima kasih karena telah diajar oleh guru???Kekerasan dalam pendidikan memang dilarang, tapi apakah murid atau orang tua murid juga pernah berpikir bila guru juga mengalami kekerasan psikis dengan kebandelan dan kekurang ajaran siswa, maupun arogansi orang tua murid?? Tidakkah para murid dan orang tua murid berterima kasih dengan pengabdian guru yang begitu lama, seberapa besar kesalahan guru dibandingkan jasanya pada para murid dan guru???Semoga kita semua menyadari hal itu. Saya bersyukur berada di posisi murid, wali murid sekaligus guru. Saya pernah mengajar, suami saya guru, Bapak saya guru, Ibu saya guru, saudara saya ada yang menjadi guru, tapi saya juga pernah menjadi murid, dan sedang menjadi wali murid atas anak-anak saya. Mungkin itu membuat saya bisa berada dalam posisi yang berseberangan dan bersikap bijak. Selamat para Guru, terima kasih atas jasa dan pengorbananmu. Selamat Hari Guru..!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar