Senin, 24 Januari 2011

Cerpen nostalgia

PERJALANAN ADINDA


“Doorr!!” Adinda tersentak, dan jantungnya berdegup kencang.
“Ada apa, Mas?” Adinda bertanya panik pada kernet yang langsung meloncat dari pintu angkot.
“Sial!! Bannya meletus. Ayo turun dulu…turun.” Kernet kerempeng itu langsung mengambil ban serep, dan mengambil peralatan untuk mengganti ban.
“Lama enggak Mas, menggantinya?” Adinda mulai gelisah.
“Paling juga sepuluh menit,” Kernet itu menjawab acuh tanpa menghiraukan kegelisahan Adinda. Adinda melirik arlojinya, lima menit lagi bel masuk berbunyi. Tanpa berkata apapun dan tanpa menghiraukan penumpang lain yang sempat terinjak kakinya, Adinda bergegas turun dari angkot sambil menyingsingkan sedikit roknya yang di bawah lutut. Berkali-kali diliriknya arloji di tangannya, tetapi jarum arlojinya tetap saja bergerak maju tanpa kompromi untuk menunggu langkahnya yang diiringi nafas tersengal-sengalnya.Adinda mengumpat dalam hati, betul-betul sial dirinya hari ini. Mengapa juga angkot yang dinaikinya tiba-tiba bannya meletus, padahal jarak sekolahnya tinggal 200 m lagi, sedang angkot berikutnya baru lewat setengah jam lagi. Adinda tinggal punya waktu 5 menit untuk mencapai sekolahnya. Setelah menimbang-nimbang Adinda memutuskan untuk turun dari angkot dan berlari saja daripada menunggu angkot berganti ban. Jam pertama ada ulangan fisika, pelajaran yang sungguh merupakan momok baginya. Tadi malam Adinda sudah belajar mati-matian, dan berharap kali ini akan sukses ulangan, meskipun tadi pagi bangunnya sempat telat karena malamnya begadang untuk ulangan kali ini. Adinda enggak ingin menyerah, pokoknya harus berusaha meskipun tetap saja dirinya susah untuk memahami soal-soal fisika yang coba dikerjakannya tadi malam.
Tet…tett…Jarak sekolahnya tinggal 50 m lagi, tetapi suara bel masuk yang begitu keras sempat didengarnya, Adinda berlari sekencang-kencangnya, tetapi pintu gerbang sekolahnya sudah tertutup secara otomatis, dan itu artinya Adinda harus menunggu di luar gerbang sampai jam pertama habis. Masih sempat dilihatnya kerumunan teman-temannya menjauh dari gerbang sekolah, melintasi lapangan rumput, dan menuju ke kelasnya masing-masing. Air mata Adinda menetes tanpa sadar, dipandanginya Gerbang sekolahnya yang begitu megah, SMAN GANESYA, terlukis dengan angkuhnya di gerbang sekolahnya. Sekolah yang menimbulkan kebanggaan di hati Adinda tiap kali orang-orang melirik seragamnya, apalagi dulu Adinda diterima dengan mudah di SMU ini karena NEM nya tinggi. Tetapi kali ini Adinda merasa nelangsa karena peraturan yang diterapkan di sini. Dengan nafas yang masih tersengal Adinda menyandarkan dirinya di depan gerbang. Ditata hatinya yang berduka. Dihapusnya air mata di pipinya.
“Wueee, telat ni, yee..!! Kernet Angkot yang tadi dinaikinya meleletkan lidah ke arahnya tanpa rasa berdosa. Adinda hampir saja melepas sepatunya untuk melempar kernet jahil itu, tetapi angkot itu sudah melaju kencang, meninggalkan debu yang beterbangan di jalan beraspal di depannya. Adinda kembali meratapi nasibnya, rumus fisika yang dihafalnya tadi malam luntur tak berbekas di benaknya, hanya meninggalkan kekesalan dan kepedihan yang sukar dilukiskan. Terbayang Bu Ray, Guru fisikanya yang pernah menuduhnya curang saat ulangan hanya gara-gara Adinda lupa menuliskan kanan atau kiri yang menandakan posisi duduknya, karena untuk kanan dan kiri diberikan soal yang berbeda tetapi sama-sama berbentuk pilihan ganda. Ketika ulangan dibagikan Adinda mendapat nilai tiga, nilai yang mengejutkan bagi dirinya, sebab meskipun Adinda kurang bisa memahami pelajaran fisika, minimal nilai lima masih bisa dicapainya. Ternyata Ulangannya dikoreksi dengan jawaban kiri, padahal Adinda duduk di sebelah kanan. Menyadari hal itu Adinda segera menuliskan “kanan” di kertas ulangannya dan segera menyerahkan kertas ulangan itu untuk dikoreksi ulang oleh Bu Ray, tetapi jawaban Bu Ray sungguh menyakiti hatinya, apalagi itu dikatakannya di muka kelas.
“Dinda, mengapa kamu menipu Ibu? Kamu pikir dengan tanpa menuliskan posisimu kamu bisa ikut mengerjakan sebelah kiri, supaya bisa contek-contekan dengan teman sebangkumu, tetapi setelah kamu cocokkan ternyata jawabanmu lebih cocok untuk posisi kanan terus kamu tuliskan “kanan” supaya nilaimu bagus?” Berlatihlah menjadi anak yang jujur, Dinda. Ibu lebih menghargai anak yang nilainya jelek tapi jujur daripada anak yang nilainya bagus tapi curang. Kali ini Ibu maafkan kecuranganmu, tetapi lain kali jangan kamu ulangi lagi. Anak-anak, kalian jangan sekali-kali meniru ulah Adinda, sebab untuk lain kali Ibu tak akan memberi ampun. Sekarang kita lanjutkan pelajaran kita,” Adinda hanya menunduk menyembunyikan kepedihan hatinya. Sebenarnya ada sesuatu yang memberontak di sana, sebab Ia sungguh-sungguh lupa menuliskan posisinya, dan ia semata-mata menuliskan “kanan” karena memang posisinya di kanan, ia tak menyangka kalau Bu Ray menuduhnya seperti itu. Betapa berkuasanya seorang Guru sehingga bisa memberikan tuduhan yang sungguh-sungguh melukai hatinya, padahal dirinya belum pernah berbohong, apalagi berlaku curang.
“Ayo, masuk. Ini sudah jam ke-2. Jangan sampai telat masuk kelas, nanti dimarahi gurumu. Baru kelas satu kok sudah berani terlambat,” Satpam yang jaga gerbang itu memaki Adinda, membuatnya ingin berteriak menumpahkan kekesalan hatinya. Dilangkahkan kakinya ke kelasnya yang terletak di ujung.
“Hei,..ke ruang BP dulu, minta surat tanda terlambat sambil minta tanda tangan kepala sekolah,” Satpam itu meneriakinya. Adinda memutar langkahnya kearah ruang BP. Susah amat menjadi orang yang terlambat, sekalipun sebenarnya ia tak bermaksud untuk melanggar peraturan sekolahnya, tetapi halangan yang terjadi di luar kemampuannyalah yang membuatnya terlambat, tetapi ternyata akibat yang ditanggungnya terlalu berat.
“Terlambat lagi, ya? Bu Kleopatra, Guru BP yang terkenal cantik itu melemparkan pertanyaan tak simpatik sambil melemparkan senyum sinisnya.
“Saya baru kali ini terlambat, Bu,” Adinda menjawab dengan perasaan tak rela.
“Iya, baru kali ini ketahuan, biasanya manjat tembok, kan?” Bu Kleo masih mempertahankan senyum sinisnya. Adinda menyibakkan poninya dan mengelus rambut pendeknya untuk meredam kejengkelannya. Tak dijawabnya pertanyaan Bu Kleo meskipun di hatinya begitu riuh dengan teriakan-teriakan gaduh untuk menyangkal pertanyaan Bu Kleo. Adinda betul-betul tak mengerti, mengapa hampir semua Guru bersikap curiga padanya. Apakah karena potongan rambutnya yang terlalu pendek seperti laki-laki, atau pembawaannya yang acuh tak acuh justru menyiratkan kebandelan? Mengapa Guru-guru itu tak mencoba mengenalinya lebih dekat, sehingga mereka tahu siapa Adinda sebenarnya, anak yang pandai, disiplin, dan patuh, ataukah karena Adinda bukan siapa-siapa, bukan anak pengusaha kaya yang royal menyumbangkan hartanya untuk kemajuan sekolah ini, dan bukan anak siapa-siapa, tetapi hanya anak petani miskin yang untuk membayar SPP saja sering telat, sehingga tak perlu dikenali dan tak perlu dihargai? Adinda sungguh-sungguh tak mengerti .
“Siapa namamu?” Bu Kleo bertanya dengan sikap melecehkan, membuat Adinda semakin pilu. Kalau namanya saja enggak tahu, bagaimana Bu Kleo bisa menuduhnya sering terlambat?
“Adinda, Bu,” Akhirnya dijawabnya pertanyaan Bu Kleo dengan suara tertahan. Dilihatnya Bu Kleo membuka buku besar yang berisi catatan anak yang terlambat.
“Baiklah. Untung namamu belum pernah terdaftar di sini, jadi kamu cukup membuat pernyataan tidak akan pernah terlambat lagi, tetapi kalau lain kali kamu terlambat, kamu harus minta tanda tangan kepala sekolah, dan tanda tangan orang tuamu. Sekarang tandatangani ini saja!” Bu Kleo mengulurkan surat pernyataan yang harus ditandatanganinya. Adinda membubuhkan tanda tangan tanpa membaca surat pernyataan itu, dirinya sudah putus asa hari ini. Bu Kleo menyuruhnya masuk kelas, ini sudah jam ke-2, berarti sudah bukan pelajaran fisika lagi, tetapi saatnya Bimbingan Karier, yang akan diisi oleh Guru BP yang baru, kalau enggak salah namanya Pak Boy, Adinda melirik Pak Boy yang masih asyik di kursinya sambil meneliti Biodata anak-anak. “Ya Ampunn!” tiba-tiba Adinda ingat kalau hari ini harus mengumpulkan Biodata. Adinda kembali menyalahkan dirinya yang lupa membawa kertas biodata itu. Dihampirinya Pak Boy yang hampir beranjak dari kursinya.
“Pak, maaf. Lembar biodata Saya ketinggalan di rumah, boleh enggak saya mengumpulkan besok?” Adinda meminta toleransi Pak Boy.
“O,..tidak bisa. Dasar anak bandel. Itu kan hanya alasan kamu karena malas. Biodata itu harus kamu ambil sekarang. Pulanglah, kuberi waktu sepuluh menit,” Pak Boy memelototinya dengan tatapan galak, seolah ingin menelannya. Adinda tersenyum kecut.Dirabanya saku seragamnya, di situ tinggal tersimpan uang limaratus rupiah, hanya cukup untuk sekali naik angkot. Kalau ia harus pulang sekarang, berarti ia harus bolak-balik 2 kali, ditambah sekali nanti pulang sekolah. Tetapi untuk meminta pengertian Pak Boy rasanya sudah enggak mungkin, sebab seolah mereka semua mencurigainya sebagai anak yang bermasalah. Adinda menarik nafas panjang mencari akal. Akhirnya diputuskan untuk masuk ke kelasnya dulu. Siapa tahu Parno mau meminjamkan sepeda kumbangnya untuk dinaikinya pulang. Sebab untuk jalan kaki sejauh 4 km rasanya dirinya sudah tak sanggup dalam keadaan patah semangat seperti ini.
Kelasnya terdengar gaduh. Biasa, begitulah kalau sedang terjadi pergantian mata pelajaran.
“Dinda sini, Hei, teman-teman, Dinda sudah datang, nih. Ayo kita kasih selamat,” Ucok sang ketua kelas berteriak memanggilnya. Adinda hanya melongo tak mengerti, mengapa teman-temannya memberinya selamat.
“ Din, enggak usah suntuk begitu! Ulangan fisikanya ditunda minggu depan, Bu Ray sakit,” Ken teman sebangkunya menghampirinya, dan menuntunnya duduk di bangkunya.
“Jadi itu to yang membuat kalian memberiku selamat?” Dinda menanggapi teman-temannya dengan tanpa ekspresi. Tak dihiraukan mereka yang memandanginya dengan tatapan aneh.Diambilnya kunci sepeda kumbang dari tangan Parno, dan dilangkahkan kakinya ke luar kelas untuk mengambil biodatanya yang tertinggal.
“Din,.. tunggu. Lihat, nih!” Ucok menyodorkan sebuah majalah remaja ke tangan Adinda dengan halaman tertentu yang terbuka. Baca, nih!” Adinda terbelalak saking kagetnya. Cerpennya memenangkan lomba cerpen yang diadakan majalah itu. Tangan Adinda gemetar memegangi majalahnya, seolah ada seribu bunga yang bermekaran di hatinya. Kabut yang menyelimuti hatinya seakan telah tersibak.
“Jadi kamu Adinda yang menang lomba cerpen itu, to?” Pak Boy sudah berdiri di depan Adinda.
“Eh,..Selamat. Ternyata kamu berprestasi juga, ya?” Tiba-tiba Bu Kleo sudah ikut nimbrung sambil berlenggak-lenggok kemayu. Adinda memandangi mereka sekilas, tetapi cepat berbalik meninggalkan mereka. Bu Kleo dan Pak Boy melongo.
“Din, biodatanya kamu kumpulin besok juga enggak pa-pa, kok,” Pak Boy berseru pada Adinda, tetapi Adinda tak peduli. Ia tak ingin membagi perasaannya pada mereka, yang seenaknya mempermainkan dan mengombang-ambingkan perasaannya. Ia tak ingin penghargaan dari mereka yang telah melecehkannya, yang terpenting ada kekuatan baru dalam diri Adinda, kekuatan yang menumbuhkan semangatnya yang telah mereka patahkan, bahwa dirinya masih bisa menumpahkan kata hatinya dalam cerpen-cerpennya, yang bisa dibuat sesuka hatinya, yang tak pernah menuduh dan menekan dirinya, dan yang terpenting tak pernah membelenggu kebebasannya, sebab dalam setiap cerpennya, Ia bisa menuliskan apapun yang diinginkannya. Adinda melanjutkan langkahnya dengan hati mantap.
<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar