Selasa, 07 Juli 2009

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 4)



MELANGKAH DALAM KABUT PAGI

Perlahan kuturuni tangga yang konon berjumlah 275 tingkat. Beberapa penjual bunga menawarkan bunga liar. Aku kurang berminat, sebab aku lebih tertarik menikmati keindahan bunga itu saat masih tumbuh liar di sepanjang jalan setapak. Pemandangan setelah matahari terbit itu sungguh luar biasa. Langit benar-benar biru, Bromo bersinar keemasan, sementara kawah Bromo masih setia mengeluarkan asap dan bau belerang. Ternyata untuk turun lebih mudah dan cepat daripada ketika naik, yang sempat membuat aku terengah-engah. Dalam waktu kurang dari setengahnya ketika naik, aku sudah sampai di bawah. Pak Suyun masih setia menunggu dengan anak buah dan kuda-kudanya kalau kami masih berminat menunggang kuda kembali, tapi aku sudah puas. Kini kuingin menjajal kemampuanku berjalan kaki. Pak suyun memaklumi ketika kami menolak untuk naik kuda lagi. Tapi dia dan anaknya dengan kuda-kuda kesayangannya mengikuti kami dari belakang. Dia tawarkan kalau kami ingin ojeg motor. Biayanya hanya 15 ribu rupiah sampai ke penginapan. Katanya kalau kembali jauh lebih murah daripada kalau berangkat, tapi kami sudah memantapkan niat untuk jalan kaki. Akhirnya Pak suyun mengikuti kami sambil menunjukkan jalan kalau ingin melewati pura, dan jalan ke pathok-pathok yang akan memandu perjalanan kami menuju penginapan. Sesekali kabut tebal masih menyelimuti, membuat pandangan kami terbatas. Jep dan sepeda motor mulai ramai, bahkan ada yang sengaja menggeber-geber suara sepeda motornya, memaksaku untuk menutup telinga. Udara yang segar dan cuaca cerah sedikit menawarkan hangatnya sinar vmentari. Kami terus berjalan. Kulihat bule-bule berjalan berombongan hanya dengan kaos oblong dan celana bermuda. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan udara dingin. Dan hebatnya lagi, sebagian besar bule-bule itu justru memilih untuk berjalan kaki pulang balik dari penginapan ke pananjakan, dan kembali ke penginapan lagi. Bahkan turis-turis tetangga kamarku sudah berangkat sejak dini hari jam 2 malam menuju ke penanjakan. Kini mereka juga berjalan kaki lagi untuk kembali ke penginapan. Aku mengenalnya yang paling ramah, menginap di sebelah kamarku. Namanya Miss Rossi. Mereka betul-betul tangguh, tak seperti turis domestik yang lebih suka naik jeep , motor, atau kuda seperti aku. Sejenak tebersit rasa malu dalam diriku. Meskipun sama-sama berjalan, ternyata tak berapa lama mereka sudah berjalan jauh di depan. Kami sempat mampir sebentar melihat keadaan pura, tapi ternyata gerbangnya masih tertutup. Saat itu masih sekitar pukul 7 pagi. Ketika kami melanjutkan perjalanan melalui lautan pasir, anakku yang bungsu paling bersemangat, dia berjalan cepat di depan, sementara aku di tengah. Sedang anak sulung dan suamiku berhenti sejenak untuk meneguk kopi susu dalam termos mungil yang kami bawa. Tanpa sadar kami berjalan sendiri-sendiri, dan keadaan tiba-tiba sunyi. Sementara kabut kembali menyelimuti, menghalangi pandanganku. Sampai di pathok penunjuk arah aku bingung, sebab arahnya berbeda 90 derajad dengan jejak-jejak kaki dan jejak ban mobil maupun sepeda motor. Kutunggu suami dan anak sulungku. Untunglah suamiku masih agak hafal dengan arah yang kami tempuh, tapi aku panik, anak bungsuku menghilang. Aku takut kalau dia mengikuti arah panah yang berarti kembali ke arah Pananjakan. Sementara kabut membuat kami tak bisa melepaskan pandangan. Anak sulungku memanggil-manggil adiknya, tapi suaranya bagai ditelan lautan pasir yang luas. Keadan sepi, aku panik. Tapi suamiku diam saja. Kami terus berjalan sambil berharap-harap cemas, sampai akhirnya kulihat jalan beraspal, dan di bawah tugu perbatasan, kulihat anak bungsuku duduk terengah-engah. Alhamdulillah, aku bersyukur. Suamiku malah tertawa. Aku tak peduli. Kami memotong kompas melalui jalan setapak, sehingga rute lebih pendek karena tak perlu berjalan memutar. Menjelang cemara Lawang kulihat Gunung Bromo di kejauhan terlihat sangat indah, dengan kepundan kawah di sebelahnya sungguh-sungguh menakjubkan. Aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikannya.

Ketika melewati pasar kecil, aku mampir, tapi ternyata hanya dipenuhi penjual cindera mata seperti syal, kaos, topi, kaos tangan dll yang sudah kami punyai, jadi kami berpindah ke pasar sayur, tapi di situpun tak ada yang menarik, sehingga kami hanya mampir untuk sarapan menu standar, nasi pecel, tahu, tempe dan telur. It’s oke, kuliner yang kurang menarik.

Waktu menjelang pukul delapan, kami kembali ke penginapan dan berkemas untuk pulang.

Di perjalanan pulang kami beruntung, ada Bison yang siap berangkat. Bahkan kami diperbolehkan membayar hanya 20.000 per orang, lebih murah 5 ribu, daripada ketika berangkat. Ternyata Bison itu carteran para bule yang akan langsung ke Bali. Dan sebagaimana bangsa kita yang selalu mencari peluang, empat bangku kosong ditawarkan pada kami. Meski kami Cuma naik sampai ke Probolinggo. Sampai di Probolinggo kami turun, tapi ada 1 orang bule yang memegang tangan anakku, dan berkata I want you, two..!!! Kedua anakku melongo, sementara naluri keibuanku menghalangi turis itu, tapi ternyata dia mengacungkan kamera. Dan berkata..sama??? dengan logat aneh. Ternyata Si bule mengira anakku kembar, dan terpesona dengan anak Indonesia yang montok-montok ini, sehingga ingin mengabadikannya dengan kamera. (Ehmm....biar para bule tahu, kalau anak Indonesia gemuk-gemuk dan sehat! Weleh.!!!)

Dari Probolinggo kami siap melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan Madiun. Aku sudah rindu hangatnya rumahku. Aku sudah rindu dengan suara adzan yang bersahut-sahutan dari mushola-mushola yang banyak terdapat di sekelilingku. Ehm...Home sweet home. I’ll back to you....!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar