Selasa, 07 Juli 2009

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 1 )




BROMO, I’M COMING

Sudah lama aku ingin berwisata ke Bromo. Dari gambar-gambar dan liputan yang pernah kutahu, aku merasa Bromo sangat indah. Sudah lama Bromo menjadi tempat wisata, tapi aku kurang tahu, bagaimana sebenarnya kondisi di sana. Baru setelah anak-anakku tumbuh besar, Aku dan suamiku berniat mengunjungi Bromo. Semula pengertianku rancu, antara Bromo sebagai tempat wisata, dan Bromo sebagai tempat avonturir untuk melatih jiwa kepecinta alaman. Tapi mungkin lebih cocok kalau keduanya digabungkan. Gunung Bromo (dari bahasa Sansekerta/Jawa Kuna: Brahma, salah seorang Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.

Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Setelah browsing sedikit tentang bromo, dan referensi dari suami yang pernah ke sana, kami mempersiapkan keperluan kami. Baju hangat tentu saja, lengkap dari kaos kaki sampai topi rajutan kami persiapkan. Air minum dan snack ala kadarnya juga kami persiapkan, tapi di sana juga banyak toko yang menjual camilan, jadi kami tak terlalu mempermasalahkan perbekalan makanan. Semula kami bermaksud membawa tenda, tapi setelah tahu di sana penginapan relatif murah, kami lebih memilih untuk menginap saja di penginapan. Apalagi kami berniat pergi naik bis, jadi lebih baik kami membawa perlengkapan yang pokok-pokok saja.

Pukul 12.00 tengah malam kami berangkat dari rumah. Pada pukul setengah satu dini hari kami baru mendapat bis langsung ke surabaya. Menjelang subuh kami sampai di surabaya dan langsung menuju masjid besar di dalam terminal. Setelah waktu subuh tiba, kami berjamah dengan para pelancong lain. Semula kami mau langsung cabut ke Probolinggo, tapi berhubung para wadyabalaku sudah merasa lapar, terpaksa kami sarapan di terminal dengan menu standar. Soto ayam.

Sampai di Probolinggo matahari sudah menaburkan sinarnya, kira-kira pukul 08.00 pagi. Kami langsung mencari bison, angkutan berwarna biru muda yang akan membawa kami ke Bromo. Ternyata belum ada penumpang lain, jadilah kami harus ekstra sabar menunggu angkutan itu penuh. Kira-kira dua jam lamanya menunggu baru Sang Bison mulai berlari. Ongkos naik bison ternyata dua kali lipat ongkos dari Surabaya ke Probolinggo. Yaitu 25.000 per orang(kalau mau sedikit ulet bisa ditawar menjadi 20.000/orang), padahal ongkos Surabaya – Probolinggo hanya 13.000/orang.

Sepanjang perjalanan, mataku terkantuk-kantuk, ternyata bison ini mesinnya lumayan joss. Meski jalanan penuh tanjakan dan berliku, sang sopir cukup lihai, dan sang bison bisa diandalkan. Buktinya aku sampai tertidur dihembus angin sepoi, padahal jalanan melingkar-lingkar dan terus naik. Suamiku tak hentinya mencubit pipiku agar terjaga, supaya tidak melewatkan pemandangan indah sepanjang perjalanan. Sungguh berlainan dengan pengalamanku naik ke telaga sarangan dengan angkutan yang mesinnya meraung-raung dan tersendat-sendat membuat pening dan mual. Tapi bison ini berjalan dengan mulus, padahal ketika aku memandang ke bawah, ke jalanan yang sudah kami lalui, terbersit rasa ngeri karena kami sudah berada di atas ketinggian. Sementara jurang di kanan kiri, sebagai mana layaknya jalanan di pegunungan. Kalau saja sang sopir tak mengenal medan dengan baik, entahlah, sebaiknya aku tak membayangkan hal-hal seperti itu. Semula di kanan kiri banyak lahan yang ditanami sawi, kool, jagung, bunga-bunga mawar, dan pancawarna, tapi semakin ke atas hanya kulihat tanaman bawang prey. Kemarau membuat petani memilih untuk menanam tanaman ini, tapi kalau musim penghujan, biasanya mereka menanam kentang.

Karena asyik memandang kanan kiri, tak terasa kami sudah sampai di cemara lawang ( portal ke kawasan taman nasional Bromo-Tengger). Berhubung kami berencana untuk menginap, bison langsung mengantar kami ke penginapan di cemara indah. Hotel ini lumayan bagus merangkap restoran(hotel dan restoran). Tarifnya juga relatif murah, hanya 75.000 - 100.000 sehari semalam/kamar dengan 2 tempat tidur lengkap. Tapi sayangnya cemara indah sudah penuh, jadilah kami diantar ke Homestay yang jaraknya kira-kira 100 meter dari Cemara indah, namanya Homestay Tengger. Di sini tarifnya lebih murah 70.000 rb./kamar(ternyata itu harga calo, kalau langsung ke pemilik hanya 60.000 ribu/kamar). Akhirnya kami memutuskan untuk menginap di sini. Saat itu semua kamar masih kosong. Kami memilih kamar di tengah, nomor 4.(ada 8 kamar berderet.)

Aku sudah tak sabar untuk mandi dan membersihkan diri, tapi...wowww...airnya sangat dingin. Seperti diguyur air es yang baru dikeluarkan dari kulkas. Bulu-bulu di tanganku langsung merinding. Akhirnya aku hanya cuci muka dan mengambil air wudhlu. Kulihat jam di HP memperlihatkan pukul 12.30. Sudah masuk waktu dhuhur, kami langsung shalat. Sayangnya kamar kami terlalu sempit, dan mushola tidak ada, jadi kami tidak bisa sholat berjamaah. Terpaksa kami shalat bergantian.

Pukul satu sudah masuk waktu makan siang, tapi entah kenapa kami tak merasa lapar, mungkin kuliner yang ada kurang menarik. Sungguh sayang, kami tidak bisa berwisata kuliner di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk melihat pemandangan Bromo dari bukit di dekat penginapan. Tanah tempat kami berdiri adalah perbukitan, sementara di bawah kami adalah lautan pasir yang merupakan kaldera Bromo. Sepanjang perbukitan itu dipagari besi, membuat kami merasa tak nyaman, tiba-tiba kami menemukan jalan pintas untuk menuju ke bawah, menembus semak-semak dan pepohonan berupa jalan setapak. Semula aku ragu mengingat lututku pernah terkilir dan sedikit rematik. Untuk turun kami harus berjalan melingkar-lingkar dengan kondisi jalan yang berlobang, berceruk, seperti lembah dan bukit. Seorang petani yang baru naik melalui jalan itu memberi tahu kalau jalan untuk turun sudah dekat, tentu saja, mereka sudah terbiasa naik turun sejauh itu. Dengan memantapkan hati kami bersama-sama menuruni bukit. Sayangnya sepanjang perjalanan banyak kotoran kuda. Ini sangat mengganggu dan membuat kami tak nyaman. Mungkin kalau kami melewatinya pada malam hari, kami bisa terperosok ke dalam gundukan lembek itu. Hii.....!!!!

Dengan sedikit tersengal kami sampai juga di bawah. Kami langsung disambut padang ilalang yang gersang dan berdebu, maklum saat ini kemarau telah menjelang. Setelah padang ilalang, lautan pasir yang luas terbentang sampai ke bukit pananjakan, tempat kawah Bromo bersemayam. Dari tempat kami berdiri, terlihat gunung Bromo yang indah, Pura di tengah lautan pasir, dan tangga menuju bukit pananjakan yang terlihat sangat kecil. Aku ingin cepat-cepat melangkah ke sana, tapi saat itu tengah hari. Meski kami tak merasakan panas, kata suamiku kami bisa terbakar matahari, jadi kami memutuskan untuk mencapai pananjakan di malam hari. Saat ini kami hanya menyusuri padang ilalang yang gersang. Untuk berbalik kembali ke jalan yang tadi, rasanya sangat jauh dan tinggi, jadi kami terus berjalan ke arah timur, dan memutar naik ke bukit yang lebih rendah, tembus ke jalan beraspal yang cukup membuat aku kehabisan nafas. Di sepanjang jalan dipasang pathok-pathok dari beton. Kira-kira 10 pathok aku berhenti, anak-anak dan suamiku mentertawakanku, tapi kakiku benar-benar sudah letih, dan nafasku megap-megap. Ternyata jalan ini menuju ke arah pintu keluar Cemara lawang, tak jauh dari penginapan. Alhamdulillah...!!! Karena lapar kami membeli bakso. Tapi setelahnya kami agak ragu, mengingat semua penduduk Tengger asli beragama Hindu (mengingatkanku saat di Pulau Bali), membuat perutku terasa tak nyaman.. Setelah itu kami memilih kuliner yang aman. Nasi pecel dan telur. Sayang sekali kulinernya kurang menarik, sehingga selalu saja menu kami seperti itu. Nasi pecel telur ceplok, nasi pecel telur dadar, nasi pecel semur telur. Sedang mie rebus dan nasi goreng kadang juga dipesan anakku, tapi aku sudah kehilangan selera kuliner.

Sampai di penginapan baru pukul 15.00. Kami segera cuci tangan dan kaki, terus istirahat, mandi (meski dengan secepat kilat dan menggigil), serta.shalat Asar. Sayang sekali sorenya kami ketinggalan menyaksikan matahari terbenam, karena kami keluar pukul 17.30, tapi kabut mulai datang, sehingga matahari tenggelam dengan diam-diam. Shalat Maghrib dan Isya kami tunaikan dengan berpedoman pada waktu. Sungguh, saat itu Aku sangat merindukan suara adzan yang biasanya bersahut-sahutan dan selalu muncul setiap kali waktu shalat tiba di sekeliling rumahku.

1 komentar:

  1. ak mau ke bromo juga,,
    homestay tengger itu dmana?.
    krena cemara indah sudah full jg,,
    thx before
    :)

    BalasHapus