Selasa, 07 Juli 2009

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 3)


DI ATAS KALDERA BROMO.

Subhanallah..!!! Alhamdulillah. Seusai shalat subuh, baru kusadar, aku berada di ketinggian Bromo. Sedikit takut akan ketinggian ketika kulayangkan pandangan ke bawah gumpalan kabut serasa lautan yang bergelombang. Sementara di sampingku kawah Bromo juga terlihat putih tertutup gumpalan kabut. Sementara di timur baru ada garis merah samar menjelang terbit matahari. Waktu baru menunjukkan pukul 05.00 pagi. Suhu dingin memaksaku merapatkan kedua tanganku yang terbungkus kaos tangan mendekap dada. Sesekali tercium bau gas belerang tepat di bawah aku berdiri. Lebih tepatnya di belakangku. Kawah Bromo yang menggelegak itu tak terlihat karena tertutup kabut, semua hanya kabut. Aku tak berani berpindah dari tempatku berdiri. Di depan jurang kaldera, di belakangku kawah, dengan pembatas pathok yang berlobang besar-besar. Bila kabut itu pergi, akan terlihat bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Selama abad ke-20, gunung yang terkenal sebagai tempat wisata itu meletus sebanyak tiga kali, dengan interval waktu yang teratur, yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi 1974, sedangkan letusan terakhir terjadi pada 2004.

Dari tempatku berdiri, bisa kusaksikan setitik kecil bentuk pura di tengah kaldera. Bagi penduduk Bromo, yaitu suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo.

Di timur pelan-pelan semburat merah mulai melebar. Turis domestik maupun asing bersiap menyambut terbitnya matahari. Dari fotografer profesional sampai turis amatir berlomba-lomba menangkap keindahan panorama. Aku tak mau kalah, setiap 5 atau sepuluh menit aku ikut mengabadikan fenomena alam ini. Kabut silih berganti datang dan pergi, sampai akhirnya matahari muncul perlahan namun pasti. Tiba-tiba semua terang. Bromo yang kehitaman berubah coklat dengan sedikit nuansa hijau, kabut mulai tersingkap sejenak. Kini bisa kulihat kerumunan orang yang ingin naik tangga ke pananjakan, tempat saat ini aku berdiri. Kuda-kudapun mulai berdatangan. Rupanya pagi tadi baru aku sekeluarga yang berangkat naik kuda. Perjalanan dalam gelap pagi tadi membuatku lupa untuk berfoto sebagai rodeo. Tapi It’s oke, pengalaman yang kudapat lebih dari cukupuntuk menjadi kenanngan yang tak terlupakan. Dalam sinar mentari semua menjadi lebih indah. Dari kejauhan kulihat pura suku tengger tampak kecil, sementara kaldera terlihat seperti laut, padahal itu adalah hamparan pasir. Aku agak ragu untuk kembali dengan berjalan kaki. Tapi tak bijak rasanya kalau aku belum mencoba. Setelah puas mengagumi keindahan Bromo, aku bersiap turun untuk kembali ke penginapan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar