Selasa, 07 Juli 2009

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 2)


BERKUDA DALAM GULITA

Malam itu selepas shalat Isya’ kami merencanakan acara esok. Target utama mencapai Bukit pananjakan, tempat kawah Bromo bergolak menyemburkan gas belerang. Semula aku mantap untuk berjalan kaki ke sana dini hari nanti sambil menyaksikan matahari terbit. Tapi, setelah siang tadi aku mengalami sendiri nafasku tinggal satu-satu ketika mencoba menuruni bukit dan mengitari padang ilalang sampai memutar balik ke penginapan, aku tak yakin akan sanggup mencapai kaldera dengan berjalan kaki. Ada 4 alternatif:

Alternatif 1. Gratis, dengan berjalan kaki. Tapi dengan resiko tinggi, mengingat kami tak mempersiapkan lampu senter, kurang mengenal medan, dan kemungkinan kabut tebal yang menyelimuti bisa menyesatkan. Dan yang pasti, kami akan kecapekan.

Alternatif kedua: Naik jeep, dengan biaya 165 ribu, tapi harus berjalan kaki lagi dengan jarak lumayan jauh, atau 275.000 ribu sampai di perbatasan pathok2 yang telah dipasang melingkari kawasan bromo. Lumayan merogoh kocek, tapi enak dan cepat sampai tujuan.Tapi mungkin kami tak bisa menikmati keindahan bromo karena harus berdesakan di dalam jeep dan pandangan relatif terbatas. Apalagi dalam kondisi gelap, kami pasti tidak akan bisa menikmati panorama sekitar.

Alternatif 3. Ojek sepeda motor, 75.000 ribu per orang. Relatif lebih mahal, tapi pandangan bebas, dan lebih cepat. (Tapi aku agak risih kalau harus membonceng dengan kondisi jalan yang naik turun dan penuh rintangan. Sebab sepertinya aku harus sering2 memeluk pengendara kalau tidak ingin jatuh. ). Dari segi tantanganpun relatif kurang menarik, sebab aku sudah terbiasa naik sepeda motor.

Alternatif 4: Naik kuda dengan ongkos 100.000 ribu per-ekor, sampai di dekat tangga menuju kawah bromo. Untuk 4 orang, jumlah itu cukup membuat kami berpikir berkali-kali, bahkan Pak Suyun, si empunya kuda memberi alternatif kalau kami boleh menyewa 3 ekor saja, sebab kedua anakku bisa berboncengan naik 1 ekor kuda. Sampai beberapa menit kami masih belum menemukan kesepakatan, akhirnya kami berjanji akan menghubungi Pak Suyun kalau kami sudah mengambil keputusan.

Pukul dua dini hari aku terjaga. Udara dingin sungguh menggigit menembus sampai ke tulang, padahal aku sudah memakai kaos tangan, kaos kaki, topi sampai ke wajah, lengan panjang dan jaket, celana panjang tentu saja. Mungkin aku perlu masuk ke sleeping bag, tapi sayangnya kami sudah bersepakat, sleeping bag yang hanya sebiji itu tidak jadi dipergunakan, supaya adil. Maklum, hanya ayah yang punya, sedang kami belum terpikir untuk membeli, karena kami belum pernah naik gunung.

Ayah sudah bangun, dan segera mengambil air wudhlu. Aku masih sedikit bermalas-malasan, lenganku yang terbungkus jaket terasa dingin seperti es. Kulihat gigi ayah gemeletuk, membuat aku ragu untuk mengambil air wudhlu. Tapi dengan Bismillah kucoba melawan hawa dingin yang semakin menggigit. ”Nyes....!!! Lenganku terasa membeku seperti es loli raksasa ketika aku mulai mengguyurkan air ke tanganku. Di kamar mandi kudapati sebungkus mentega yang mengeras seperti keju, menandakan udara sangat dingin. Mungkin ada tamu yang meninggalkan mentega, dan penjaga penginapan yang mungkin buta huruf mengira mentega itu adalah sabun cuci, sehingga menaruhnya di kamar mandi. Entahlah.

Selesai shalat sunnah, aku kembali berembug dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk menyewa 3 ekor kuda, tapi hanya untuk sekali jalan, sekembalinya kami berniat untuk jalan kaki saja. Pak suyun menyetujuinya, tapi meminta kami menunggu sampai pukul 4. Aku dan suami kembali berembug, agar kami tak ketinggalan shalat subuh. Kami berencana untuk shalat subuh di atas kuda, jadilah aku menutup semua aurat, bahkan tak lupa kerudung segiempatku yang tipis kulipat kecil-kecil dan kukalungkan di leher sebagai syal.

Tepat pukul 04.00 Pak Suyun dan anak buahnya menjemput kami di penginapan. Aku agak ragu dengan kekuatan kuda-kuda yang relatif kecil itu, apalagi ada satu ekor kuda yang harus menahan beban berat 2 anakku yang gemuk-gemuk. ”Kudanya kuat untuk 2 orang,Pak?” Aku masih ragu. ”Kuat, Bu!” kata Anak buah Pak Suyun. Okelah, dengan sekuat hati kukuatkan dan kumantapkan hatiku. Tapi aku masih merasa tak nyaman melihat kedua anakku berdesakan di atas pelana yang sempit, sementara sang kuda juga terlihat keberatan dengan beban di punggungnya, tapi dengan Bismillahirrohmannirrohim, akhirnya kami berjalan pelan-pelan. Aku agak kikuk, karena sebelumnya belum pernah naik kuda. Aku sebenarnya tak tega harus menunggangi kuda dengan beban tubuhku yang lumayan berat (lumayan apa berat banget!!!!:(

Jantungku berdetak kencang dan terasa gamang. Ternyata menunggang kuda tak semudah yang kubayangkan. ” Kaki Ibu direntangkan lurus, badan tegak, dan jaga keseimbangan. Ingat ya, Bu...jangan sampai membungkukkan badan...! Tak usah takut, saya akan membantu Ibu.” Mas Edi yang menuntun kudaku memberi instruksi. Aku pura-pura rileks, padahal sebenarnya aku ngeri. Apalagi ketika kuda berjalan menuruni tanjakan yang cukup curam, keseimbanganku sempat terganggu dan sedikit oleng, sang kudapun berontak, untunglah Mas Edi berhasil menenangkan sang kuda. Aku tak henti-hentinya beristighfar. Aku mengkhawatirkan anak-anakku, kalau suamiku kelihatannya cukup enjoy. Maka ketika Pak Suyun menyarankan untuk menambah satu kuda aku menyanggupinya. Aku tak ingin mempertaruhkan keselamatan kedua anakku dengan satu kuda dalam perjalanan yang penuh tanjakan dan jurang. Jadilah kami berempat beriringan di atas kuda. Sesekali jeep dan sepeda motor yang berseliweran membuat kuda yang kunaiki rewel, membuat jantungku berdegup lebih keras, dan berharap cepat sampai ke tujuan. Tapi ternyata itu tak seberapa, pada suatu titik tertentu, Pak Suyun dan anak buahnya membelokkan arah tujuan kudanya, melewati lokasi yang sama sekali tak ada penerangan, hanya beberapa kerlip bintang yang sedikit memberikan cahayanya. Cengkeramanku pada tali semakin kuat.Kuda berbelok mengambil jalan pintas melalui semak belukar menuruni perbukitan. Tiba-tiba kudaku terperosok, membuat aku panik dan menjerit, celakanya secara reflek aku membungkuk. Kontan saja sang kuda menaikkan kaki belakangnya, hampir saja aku terlempar, untunglah Mas Edi sigap menenangkan sang kuda dan Alhamdulillah aku berhasil menjaga keseimbangan dan kembali ke posisi semula sambil mencengkeram tali yang mengikat kuda erat-erat. Astaghfirullah....Innalillahi..Alhamdulillah, apa saja kuucapkan untuk mengusir kepanikan. Untunglah aku berada di paling belakang, jadi anak-anak dan suamiku tak tahu apa yang terjadi padaku, sehingga mereka tak ikut panik. Untunglah setelah itu kuda mencapai lautan pasir, aku agak lega. Sebenarnya kalau suasana hatiku tenang, malam itu sangat indah, meski angin dingin terasa menampar-nampar wajahku, satu-satunya anggota tubuh yang terbuka, sementara dari kaki sampai ujung kepala kubungkus rapat. Kulirik beberapa rasi bintang di langit, tapi Cuma mengintip. Aku takut bila kudongakkan wajahku, maka sang kuda yang sensitif akan bisa merasakannya dan rewel lagi. Bahkan batuk yang siap meletuppun kutahan sekuat tenaga, aku tak ingin mengambil resiko sehingga sang kuda akan melonjak untuk kedua kalinya. ” Kudanya belum pernah diajak keluar malam hari, Bu..jadi agak bingung dengan suasana malam..!” (What’s..???? Jadi....?????Aku ingin protes mendengar hal itu, memangnya aku mau dijadikan korban disuruh naik kuda yang belum pernah diajak keluar malam?? Tapi kurasa protesku itu akan sia-sia, jadi lebih baik kucoba untuk rileks...) Bibirku masih tetap komat-kamit menyebut Asma Allah. Dari rasa ngeri perasanku berubah menjadi kasihan ketika dalam keheningan yang mencekam kudengar dengus nafas kuda yang megap-megap dan suara nafas Mas Edi yang ngos-ngosan berjalan sejauh itu sambil menuntun kuda yang kunaiki. Ingin rasanya aku gantian menuntun kuda saja daripada nongkrong dengan kecemasan yang luar biasa di atas punggung kuda. Tapi rasanya itu bukan tindakan yang bijak, tetapi justru akan membuat runyam keadaan. Jadi aku diam saja, kucoba untuk konsentrasi dan bekerjasama, berkomunikasi dalam telepati dengan patnerku untuk menempuh misi menuju kaldera Bromo. Tiba-tiba Pak Suyun memberi isyarat pada Mas Edi, aku merasakan ada sesuatu yang gawat. Mas Edi berkata pelan, ” Saya carikan jalan yang bagus ya,Bu..!” Aku hanya mengangguk, tak peduli dia bisa melihat anggukanku apa tidak. Mas Edi memutar arah kuda untuk menghindari lobang, dan itu sungguh-sungguh bukan hal yang mudah. Sang kuda sedikit berontak, sementara Mas Edi mencoba sekuat tenaga memutar kudanya. Aku diam ..ternyata rute kami saat itu sudah memasuki bukit-bukit karang terjal. Banyak cerukan, lekukan, tonjolan bongkahan cadas, dan entah apa saja. Tapi dalam penglihatanku, saat itu kami menapaki jalan setapak yang memang agak rata, tapi lebarnya hanya sekitar setengah meter, dengan lobang di kanan kiri. Atau mungkin bahkan jurang. Langkah Mas Edi tersendat-sendat di sampingku, sementara sang kuda bekerja keras menunaikan tugasnya. Aku tak berani menatap jurang di kanan kiri, tapi juga tak berani memejamkan mata. Jalan sesempit itu, dilalui kuda yang sensitif dan rewel, dan Mas Edi yang kepayahan menuntunnya, sementara jurang di kanan kiri dan pandangan yang hanay beberapa meter karena terhalang kabut, membuat aku serasa meniti jembatan Sirathal Mustaqim. Ya Allah Ya Rabbi...maafkan segala kesalahan hambaMu. Jika sedikit saja sang kuda rewel dan Mas Edi lengah, aku akan terlempar dan terhempas di atas runcingnya bukit karang. Aku serasa Ibu Suri yang dilarikan dengan diam-diam untuk menghindari musuh yang menyerbu kerajaan. Di depan jurang, di belakang musuh siap menghadang, sungguh-sungguh mencekam. Astaghfirullah....kucoba mengingat semua amal-amalku yang susah kuingat. Ya Allah ..Ya..Rabbi...beri kesempatan padaku untuk bertobat dan memperbaiki amal...! Maafkan segala kesalahan hamba, kebodohan hamba, keangkuhan hamba...! Sungguh dalam keagunganMu, hamba hanyalah setitik debu yang hilang dalam sekali sentil....!

”Sudah sampai,Bu..!” Mas Edi membuyarkan imaginasiku yang melayang ke mana-mana. ”Alhamdulillah....!!! Terima kasih Ya Allah.!!!!! Di depanku menjulang deretan anak tangga yang masih harus kudaki untuk mencapai kawah Bromo. Sangat indah seperti tangga para bidadari untuk mencapai khayangan. Subhanallah..!!!Kaki-kakiku masih gemetar ketika menapak ke tanah. Kuingin cepat-cepat mencapai puncak,...dengan kaki gemetar kutapaki deretan tangga itu selangkah demi selangkah...kakiku terasa lumpuh, tapi Alhamdulillah...sungguh kusaksikan keindahan ciptaanmu ya Rabbi...!Amazing..!! Kulepas syalku, dan kuhamparkan kerudung segiempat itu. , Kutunaikan shalat Subuh di puncak Bromo, karena rencanaku untuk sholat di atas kuda gagal total.. Subhanallah..!!! Aku siap menikmati keindahan surgawi menunggu terbitnya matahari. Subhanallah..sungguh indah ciptaanMu, Ya Allah...!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar