Rumah bapak
Di waktu aku kecil, rumah bapak juga tempat aku tinggal, adalah rumah yang bagiku sangat besar. Aku ingat, dulu, ruang tamuku yang berukuran 10 x 12 meter itu sering dipakai untuk penataran karakterdes , karena bapakku menjadi ketua LKMD di desaku. Ruang tamu itu sudah ditembok, tetapi rumah belakang yang terdiri dari kamar-kamar, ruang makan, lumbung padi, ruang antara dapur dan ruang makan, dan dapur, masih terbuat dari papan dan gedheg(anyaman bamboo). Kami adalah keluarga besar. Penghuninya sekitar 12 orang. Aku berlima dengan saudaraku, bapak, Ibu, Mamak (kakak perempuan bapakku) dan suaminya, dan keponakan-keponakan bapak yang disekolahkan oleh bapak, sekitar 3 orang. Mereka disekolahkan bapak di sekolah-sekolah kejuruan, setelah tamat, bapakku menyekolahkan lagi adiknya, begitulah, kira-kira ada sekitar 8 keponakan yang disekolahkan bapak.
Sekarang Bapak ingin memugar rumah belakang, dibuat membujur memotong rumah depan. Sayangnya rumah yang baru ini agak terpisah dengan rumah depan, sehingga seolah-olah Kami mempunyai 2 rumah. Rumah belakang berukuran 9 x 14 meter. Lumayan besar, karena sudah ada rumah depan. Ketika rumah itu baru selesai sampai atap, pembangunan dihentikan, karena dananya terserap untuk keperluan lain, sehingga rumah itu agak terbengkelai. Kami tidak protes, meskipun rumah kami kini hanya berlantaikan tanah, dengan tembok bata merah. Rumah itu masih begitu-begitu saja, bahkan sampai kami kuliah, menikah dan punya anak.
Aku sedang tertegun memandangi rumah Bapak. Anganku melayang pada Bapak. Laki-laki gagah yang sangat aku banggakan. Posturnya tinggi besar, mirip dengan Presiden kita yang sekarang, tapi hidungnya mancung. (Kupegang hidungku yang besar dan pesek, tidak mirip hidung Bapak). Laki-laki itu terlihat berwibawa dan berkharisma, banyak orang yang segan dan takut padanya. Padahal beliau sebenarnya mempunyai hati sangat lembut, terbukti ketika aku boyongan sehabis melahirkan anakku yang pertama, diam-diam beliau menitikkan air mata menyaksikan anak dan cucunya diboyong oleh Sang menantu ke rumah mereka sendiri. Bapak memang sangat sayang pada anak-anaknya, meskipun tidak pernah menampakkan itu, supaya kami menjadi anak-anak yang kuat dan tidak cengeng. Maka Aku sangat tersentuh dan terharu ketika diam-diam kulihat kilauan bening di mata Bapak. Benar-benar surprise bagiku.
Bapakku saat itu menjadi Penilik Pembinaan Generasi Muda dan Olah Raga di Kecamatan, sedang sorenya Bapak mengepalai sebuah SMP swasta di Kecamatan juga. Sedang ibuku mengajar di sebuah SMP negeri di Kutoarjo. Kata orang-orang, seharusnya Kami bisa hidup berkecukupan, tapi nyatanya kami hidup sederhana. Sebenarnya kami tidak pernah ingin hidup berlebihan, kesederhanaan memang selalu diterapkan oleh Bapak. Dan Aku mensyukurinya, sebab dengan terbiasa hidup sederhana, kami selalu bisa menikmati hidup ini dengan sesungguhnya.
Aku anak kedua, kakakku laki-laki.Adikku masih 3 orang, 1 laki-laki, 2 perempuan. Tapi aku yang lebih dekat dengan Bapak, tak heran kalau aku sedikit tomboy, dan agak kasar untuk seorang anak perempuan. Aku sangat suka mengekor ke mana Bapak pergi, tentunya selain kalau beliau sedang dinas. Pada saat-saat tertentu, saat libur, Bapak pergi ke Tegalan yang kami miliki. Kearah timur rumahku, Bapak mempunyai tegalan, kalau mau ke sana harus melewati kuburan. Mungkin itu yang membuat kakakku tak suka ikut, karena takut dengan mitos-mitos kuburan yang biasanya menyeramkan, tapi aku enjoy saja berjalan di belakang Bapak sambil menyanyi “Halo-halo Bandung” atau “Maju tak Gentar”. Tegalan Bapak penuh ditanami jeruk, Aku sangat senang, memanjat sana sini, sambil mengelus-elus buah jeruk yang mulai ranum. Favoritku adalah pohon jeruk keprok. Buahnya agak gepeng, tapi besar-besar. Pohon ini khusus untuk kami petik dan kami konsumsi sendiri. Sedang yang keprok siam biasanya dijual. Saat itu Aku masih anak-anak dan sangat lugu, sehingga waktu aku TK, diam-diam kuajak 5 orang temanku ke tegalan, terus mereka kusuruh memetik jeruk sesukanya. Mereka senang sekali, mereka mencopot roknya untuk tempat buah jeruk sebanyak-banyaknya, sedang aku hanya tertawa-tawa senang melihat teman-temanku bersuka ria, tapi sorenya Bapak menegurku meski dengan geli juga, lain kali tidak boleh seperti itu. Ternyata ada tetanggaku yang melaporkan ulahku ke Bapak, padahal dalam pikiran kanak-kanakku, buat apa jeruk sebanyak itu kalau tidak untuk dibagi-bagikan. Toh biasanya Bapak juga membagi-bagikan buah jeruk itu ke para tetangga.
Selain ke tegalan, Bapak juga membeli banyak tanah pekarangan, meski ada beberapa yang letaknya agak jauh dari rumah. Bapak tidak pernah bisa berpangku tangan, tanahnya tidak ada yang dibiarkan kosong. Tak heran sampai sekarang kami bisa menikmati pekarangan yang penuh dengan pohon buah-buahan. Dari pisang, nangka durian, rambutan, jambu biji, jambu air, mangga, belimbing, kedondong, duku, sampai pete. Bahkan kelapapun masih banyak berbuah sampai sekarang meski pernah terserang hama. Bapak benar-benar mensyukuri nikmat Allah dengan mengelola tanah sebaik-baiknya, membuat aku malu, menjadi sarjana pertanian yang tak punya kemampuan bercocok tanam.
Kenanganku yang lain bersama Bapak,Aku sering ikut Bapak melihat wayang kulit. Biasanya Bapak diundang sebagai tamu kehormatan setiap ada tanggapan wayang, Aku senang ikut Bapak, sebab kalau menonton bersama Bapak, berarti aku juga bisa ikut menikmati jamuan gratis (he..he…!). Meskipun aku tidak betah melek, sehingga jarang Aku bisa menonton sampai malam, tapi itu sudah cukup membuatku hapal tokoh wayang, dari Batara kresna yang karakternya sama dengan Wisnu, sampai yang spesifik seperti Gatotkaca, Werkudara, Janoko sampai cakil. Pendeta Durnapun aku tahu.
Pada suatu kali, ada seorang wali murid yang datang ke rumahku, minta tolong agar anaknya yang tak lulus diluluskan. Hebatnya Dia berani menawarkan sawahnya pada Bapak sebagai imbalan bila Bapak bersedia meluluskannya. Katanya anaknya menangis meraung-raung mau bunuh diri kalau tak lulus, padahal pengumuman kelulusan baru esoknya. Bapak hanya tersenyum, dan menyuruh Si anak besok menghadap ke kantornya. Tapi entah nasehat apa yang Bapak berikan, anak itu akhirnya bisa menerima kalau dirinya tak lulus, dan bersedia mengulang. Tahun depannya ternyata dia bisa lulus. Sang wali murid datang lagi dengan wajah sumringah. Dia membawa oleh-oleh tempe raksasa, dibungkus daun, Bapak hanya tertawa, dan Aku kebagian tugas membuat tempe bacem. Ini pula yang menjawab misteri, mengapa Aku yang tomboy suka memasak. Sebab, Bapakku suka menikmati kuliner, sedang ibuku kurang suka memasak, maka jadilah Aku yang sering asyik mencoba resep bersama Bapak. Tak heran sampai kini, setiap kali menemukan resep baru, aku selalu ingat Bapak. Bersama Bapak Aku mengenal buntil, pelas, peyek, kuluban, sayur gori, sayur bobor, sayur daun papaya, daun ketela, yang semua bisa kami petik di kebun sendiri.. Terkadang Aku bersedih mengingat ini, apakah selama ini masakan yang kami buat kaya kolesterol sehingga Bapak harus kena stroke. Mengingat itu, air mataku selalu menetes tanpa kusadari. Bapak memang suka mangut lele, dan gurami. Ikan itu hasil kolam kami sendiri. Setiap menguras kolam, aku pasti ikut menceburkan diri. Bermain dalam Lumpur sungguh-sungguh merupakan pengalaman yang menyenangkan. Menangkap tawes, mujair, dan sepat. Kalau gurami dan lele aku tak berani menangkapnya, sebab sirip dan patilnya bisa melukaiku. Sungguh lain dengan anak-anakku sekarang, yang begitu malas berkotor-kotor dengan Lumpur. Yah…jaman sudah jauh berubah.
Rumah itu masih seperti dulu, berdinding bata merah yang bertonjolan, berlantaikan tanah, dengan kusen-kusen yang kusam, mataku terpejam dan air mataku menetes. Ketika kubuka mataku, kulihat Bapak sudah berdiri di depanku, tersenyum gagah, berwibawa tapi lembut, sementara rumahnya berkilau bagai kristal, berpendar-pendar diterpa kilau mentari , di tamannya ada sungai-sungai yang mengalirkan air susu, kebunnya ditumbuhi buah-buah anggur yang ranum bergelantungan,…Aku terkesima….!
Madiun, Mei 2009.
Kutulis Ketika kurindu pada Bapak yang telah berpulang ke Rahmatulloh 10 tahun yll.
Di waktu aku kecil, rumah bapak juga tempat aku tinggal, adalah rumah yang bagiku sangat besar. Aku ingat, dulu, ruang tamuku yang berukuran 10 x 12 meter itu sering dipakai untuk penataran karakterdes , karena bapakku menjadi ketua LKMD di desaku. Ruang tamu itu sudah ditembok, tetapi rumah belakang yang terdiri dari kamar-kamar, ruang makan, lumbung padi, ruang antara dapur dan ruang makan, dan dapur, masih terbuat dari papan dan gedheg(anyaman bamboo). Kami adalah keluarga besar. Penghuninya sekitar 12 orang. Aku berlima dengan saudaraku, bapak, Ibu, Mamak (kakak perempuan bapakku) dan suaminya, dan keponakan-keponakan bapak yang disekolahkan oleh bapak, sekitar 3 orang. Mereka disekolahkan bapak di sekolah-sekolah kejuruan, setelah tamat, bapakku menyekolahkan lagi adiknya, begitulah, kira-kira ada sekitar 8 keponakan yang disekolahkan bapak.
Sekarang Bapak ingin memugar rumah belakang, dibuat membujur memotong rumah depan. Sayangnya rumah yang baru ini agak terpisah dengan rumah depan, sehingga seolah-olah Kami mempunyai 2 rumah. Rumah belakang berukuran 9 x 14 meter. Lumayan besar, karena sudah ada rumah depan. Ketika rumah itu baru selesai sampai atap, pembangunan dihentikan, karena dananya terserap untuk keperluan lain, sehingga rumah itu agak terbengkelai. Kami tidak protes, meskipun rumah kami kini hanya berlantaikan tanah, dengan tembok bata merah. Rumah itu masih begitu-begitu saja, bahkan sampai kami kuliah, menikah dan punya anak.
Aku sedang tertegun memandangi rumah Bapak. Anganku melayang pada Bapak. Laki-laki gagah yang sangat aku banggakan. Posturnya tinggi besar, mirip dengan Presiden kita yang sekarang, tapi hidungnya mancung. (Kupegang hidungku yang besar dan pesek, tidak mirip hidung Bapak). Laki-laki itu terlihat berwibawa dan berkharisma, banyak orang yang segan dan takut padanya. Padahal beliau sebenarnya mempunyai hati sangat lembut, terbukti ketika aku boyongan sehabis melahirkan anakku yang pertama, diam-diam beliau menitikkan air mata menyaksikan anak dan cucunya diboyong oleh Sang menantu ke rumah mereka sendiri. Bapak memang sangat sayang pada anak-anaknya, meskipun tidak pernah menampakkan itu, supaya kami menjadi anak-anak yang kuat dan tidak cengeng. Maka Aku sangat tersentuh dan terharu ketika diam-diam kulihat kilauan bening di mata Bapak. Benar-benar surprise bagiku.
Bapakku saat itu menjadi Penilik Pembinaan Generasi Muda dan Olah Raga di Kecamatan, sedang sorenya Bapak mengepalai sebuah SMP swasta di Kecamatan juga. Sedang ibuku mengajar di sebuah SMP negeri di Kutoarjo. Kata orang-orang, seharusnya Kami bisa hidup berkecukupan, tapi nyatanya kami hidup sederhana. Sebenarnya kami tidak pernah ingin hidup berlebihan, kesederhanaan memang selalu diterapkan oleh Bapak. Dan Aku mensyukurinya, sebab dengan terbiasa hidup sederhana, kami selalu bisa menikmati hidup ini dengan sesungguhnya.
Aku anak kedua, kakakku laki-laki.Adikku masih 3 orang, 1 laki-laki, 2 perempuan. Tapi aku yang lebih dekat dengan Bapak, tak heran kalau aku sedikit tomboy, dan agak kasar untuk seorang anak perempuan. Aku sangat suka mengekor ke mana Bapak pergi, tentunya selain kalau beliau sedang dinas. Pada saat-saat tertentu, saat libur, Bapak pergi ke Tegalan yang kami miliki. Kearah timur rumahku, Bapak mempunyai tegalan, kalau mau ke sana harus melewati kuburan. Mungkin itu yang membuat kakakku tak suka ikut, karena takut dengan mitos-mitos kuburan yang biasanya menyeramkan, tapi aku enjoy saja berjalan di belakang Bapak sambil menyanyi “Halo-halo Bandung” atau “Maju tak Gentar”. Tegalan Bapak penuh ditanami jeruk, Aku sangat senang, memanjat sana sini, sambil mengelus-elus buah jeruk yang mulai ranum. Favoritku adalah pohon jeruk keprok. Buahnya agak gepeng, tapi besar-besar. Pohon ini khusus untuk kami petik dan kami konsumsi sendiri. Sedang yang keprok siam biasanya dijual. Saat itu Aku masih anak-anak dan sangat lugu, sehingga waktu aku TK, diam-diam kuajak 5 orang temanku ke tegalan, terus mereka kusuruh memetik jeruk sesukanya. Mereka senang sekali, mereka mencopot roknya untuk tempat buah jeruk sebanyak-banyaknya, sedang aku hanya tertawa-tawa senang melihat teman-temanku bersuka ria, tapi sorenya Bapak menegurku meski dengan geli juga, lain kali tidak boleh seperti itu. Ternyata ada tetanggaku yang melaporkan ulahku ke Bapak, padahal dalam pikiran kanak-kanakku, buat apa jeruk sebanyak itu kalau tidak untuk dibagi-bagikan. Toh biasanya Bapak juga membagi-bagikan buah jeruk itu ke para tetangga.
Selain ke tegalan, Bapak juga membeli banyak tanah pekarangan, meski ada beberapa yang letaknya agak jauh dari rumah. Bapak tidak pernah bisa berpangku tangan, tanahnya tidak ada yang dibiarkan kosong. Tak heran sampai sekarang kami bisa menikmati pekarangan yang penuh dengan pohon buah-buahan. Dari pisang, nangka durian, rambutan, jambu biji, jambu air, mangga, belimbing, kedondong, duku, sampai pete. Bahkan kelapapun masih banyak berbuah sampai sekarang meski pernah terserang hama. Bapak benar-benar mensyukuri nikmat Allah dengan mengelola tanah sebaik-baiknya, membuat aku malu, menjadi sarjana pertanian yang tak punya kemampuan bercocok tanam.
Kenanganku yang lain bersama Bapak,Aku sering ikut Bapak melihat wayang kulit. Biasanya Bapak diundang sebagai tamu kehormatan setiap ada tanggapan wayang, Aku senang ikut Bapak, sebab kalau menonton bersama Bapak, berarti aku juga bisa ikut menikmati jamuan gratis (he..he…!). Meskipun aku tidak betah melek, sehingga jarang Aku bisa menonton sampai malam, tapi itu sudah cukup membuatku hapal tokoh wayang, dari Batara kresna yang karakternya sama dengan Wisnu, sampai yang spesifik seperti Gatotkaca, Werkudara, Janoko sampai cakil. Pendeta Durnapun aku tahu.
Pada suatu kali, ada seorang wali murid yang datang ke rumahku, minta tolong agar anaknya yang tak lulus diluluskan. Hebatnya Dia berani menawarkan sawahnya pada Bapak sebagai imbalan bila Bapak bersedia meluluskannya. Katanya anaknya menangis meraung-raung mau bunuh diri kalau tak lulus, padahal pengumuman kelulusan baru esoknya. Bapak hanya tersenyum, dan menyuruh Si anak besok menghadap ke kantornya. Tapi entah nasehat apa yang Bapak berikan, anak itu akhirnya bisa menerima kalau dirinya tak lulus, dan bersedia mengulang. Tahun depannya ternyata dia bisa lulus. Sang wali murid datang lagi dengan wajah sumringah. Dia membawa oleh-oleh tempe raksasa, dibungkus daun, Bapak hanya tertawa, dan Aku kebagian tugas membuat tempe bacem. Ini pula yang menjawab misteri, mengapa Aku yang tomboy suka memasak. Sebab, Bapakku suka menikmati kuliner, sedang ibuku kurang suka memasak, maka jadilah Aku yang sering asyik mencoba resep bersama Bapak. Tak heran sampai kini, setiap kali menemukan resep baru, aku selalu ingat Bapak. Bersama Bapak Aku mengenal buntil, pelas, peyek, kuluban, sayur gori, sayur bobor, sayur daun papaya, daun ketela, yang semua bisa kami petik di kebun sendiri.. Terkadang Aku bersedih mengingat ini, apakah selama ini masakan yang kami buat kaya kolesterol sehingga Bapak harus kena stroke. Mengingat itu, air mataku selalu menetes tanpa kusadari. Bapak memang suka mangut lele, dan gurami. Ikan itu hasil kolam kami sendiri. Setiap menguras kolam, aku pasti ikut menceburkan diri. Bermain dalam Lumpur sungguh-sungguh merupakan pengalaman yang menyenangkan. Menangkap tawes, mujair, dan sepat. Kalau gurami dan lele aku tak berani menangkapnya, sebab sirip dan patilnya bisa melukaiku. Sungguh lain dengan anak-anakku sekarang, yang begitu malas berkotor-kotor dengan Lumpur. Yah…jaman sudah jauh berubah.
Rumah itu masih seperti dulu, berdinding bata merah yang bertonjolan, berlantaikan tanah, dengan kusen-kusen yang kusam, mataku terpejam dan air mataku menetes. Ketika kubuka mataku, kulihat Bapak sudah berdiri di depanku, tersenyum gagah, berwibawa tapi lembut, sementara rumahnya berkilau bagai kristal, berpendar-pendar diterpa kilau mentari , di tamannya ada sungai-sungai yang mengalirkan air susu, kebunnya ditumbuhi buah-buah anggur yang ranum bergelantungan,…Aku terkesima….!
Madiun, Mei 2009.
Kutulis Ketika kurindu pada Bapak yang telah berpulang ke Rahmatulloh 10 tahun yll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar