Kamis, 28 Mei 2009

Jujur pada kata hati







BERDIALOG DENGAN KATA HATI


Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami bukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan , maka Kami siksa mereka dengan perbuatan mereka sendiri (QS Al –A’raf : 96)



Pagi itu, sewaktu aku sedang browsing bersama suami, menangkap berita, Facebook Haram! Aku dan suami berpandangan sejenak, dan tanpa dikomando langsung mengklik berita itu. Sebenarnya sederhana saja, intinya Facebook haram kalau dipergunakan untuk hal-hal yang tak berguna. Tapi entah kenapa di televisi berita itu diblow up, dan semua orang diminta pendapatnya. Dan hasilnya sebagian besar pengguna facebook mengemukakan kalau facebook banyak manfaatnya.



Dan sebagaimana biasanya, polemik pasti akan berakhir dengan kesimpulan :
tergantung individu masing-masing. Jadi lebih baik aku bertanya pada diriku
sendiri, Facebook halal apa haram untuk diriku sendiri.
Kalau suamiku jelas sudah mengambil sikap, Dia mengharamkan televisi, dan tidak pernah membuka facebook, tapi dia tidak melarang aku membuka facebook. Sebenarnya, dalam hati kecil Aku mengakui, kalau kadang-kadang Aku ”terpeleset” sehingga mengarah ke facebook yang haram, tapi anehnya Aku berpendapat kalau mengharamkan facebook itu sesuatu yang berlebihan. Aku sebenarnya ngeri kalau Aku menjadi golongan orang munafik karenanya (Astaghfirulloh!) Tapi untuk mengharamkan facebook?Kok berat juga ya Aku lakukanAku banyak mendapat ”ilmu”, tauziah, menyambung silaturahim, dan ”membuka wawasan dari facebook.(Terima kasih buat semua teman-teman, dan Jazakumulloh khoiron katsiro buat muslim community dan belajar Islam). Saat ini mungkin lebih baik Aku bertanya pada diri sendiri, sudah mampukah aku mempergunakan facebook secara halal? Mungkin itu lebih nyaman Aku tanyakan pada diri sendiri. Dan semoga kalau suatu saat Aku menyadari facebook telah membuat Aku jauh dari agama, sehingga mengabaikan perintah perintah Allah, Aku bisa berteriak dengan ksatria, Facebook haram!!! Tapi untuk saat ini, sepertinya Aku masih perlu membuka facebook mengingat Aku masih perlu banyak belajar. Wallahu’alam.

Minggu, 17 Mei 2009

Detoks ketika puasa senin-kemis


DETOKS = 125.000





DETOKS =


PLUS
BONUS


Seorang sales menawari saya satu botol suplemen, katanya untuk detoksifikasi racun dalam tubuh. Saya asyik memperhatikan sang sales yang piawi berpromosi panjang lebar tanpa memberi kesempatan pada saya untuk menyela.
“ Pil detox ini sangat baik untuk kesehatan kita, Ibu…! Apalagi untuk Ibu yang
berbadan subur seperti ini, maaf ya…resiko terkena penyakit sangat tinggi, dan
biasanya kolesterolnya juga tinggi. Tapi Ibu tidak perlu khawatir, sebab dengan
pil detox ini, …apabila Ibu rajin mengkonsumsinya secara teratur, maka Insya
Allah Ibu akan sehat, sebab racun-racun dalam tubuh akan diserap, dan
dikeluarkan lewat urine.,!Di samping itu, detox juga bisa menghindarkan ibu dari
penyakit jantung, ginjal, stroke, rematik dan semua penyakit yang membahayakan.
Aku hanya nyengir. .
Terus..harganya berapa, Mbak..? tanyaku penasaran. Kok ada pil sehebat itu.
“Sangat murah Ibu, satu botol ini berisi 30 pil, dikonsumsi 3x sehari, harganya 125.000 rupiah. Sang sales tersenyum manis padaku, tetapi senyumku semakin kecut ( mangga muda, ‘kali!) 125.000 untuk 10 hr, berarti 1 bln 375.000. Lha kalau penghuni rumahku 4 orang, berarti 375.000 x 4 = 1.500.000. Waduhhh bisa enggak makan setengah bulan nih. Akhirnya kutolak tawaran sales itu, meski kayaknya sang sales enggak rela sebab sebelumnya aku begitu antusias.
Samar-samar, Aku ingat Presentasi Tung Desem Waringin di TVRI tentang black
marketing. “ Sekotak teh yang harganya Cuma beberapa ribu, bila kemudian
diembel-embeli dengan bisa melangsingkan, mencegah kanker, menurunkan
kolesterol, maka dijual ratusan ribupun bisa laku…!” Nah Lo….! He..he…itu satu
lagi alasan kenapa aku tak jadi membeli.
Padahal aku mempunyai obat detoks yang gratis plus bonus, yaitu “PUASA” ! kok…? Ya Iyalah! Ada banyak penelitian yang dilakukan mengenai manfaat puasa, di antaranya :
Puasa dapat menambah jumlah sel darah putih dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Puasa juga membebaskan tubuh dari racun, kotoran, dan ampas karena alat
pencernaan diistirahatkan.
Puasa membatasi suplai makanan yang masuk ke
dalam tubuh, sehingga penumpukan racun, kotoran dan sampah juga dapat dibatasi.
Cadangan energi yang terdapat dalam tubuh juga dikeluarkan ketika puasa,
sehingga melegakan pernafasan organ-organ tubuh dan sel penyimpannya, terjadi
peremajaan sel dan kulitpun menjadi lebih segar. (Annida no 5 tahun XII)
Meski begitu, pada awalnya proses detoksifikasi ini memang merupakan kerja berat bagi tubuh, sehingga seringkali terjadi rasa kurang nyaman, lemas, bahkan seperti kurang enak badan, tetapi setelah prose si tu terjadi, tubuh akan terasa fit, bahkan mungkin lebih fit dari sebelumnya.(Dr. Anna Rozaliyani) Asyik enggak?
Nah..untuk wanita, yang biasanya menginginkan tubuh langsing, mungkin bagi
sebagian orang bisa dipergunakan untuk diet juga ( meski untuk saya hasilnya
kurang signifikan).
Dan bonus selanjutnya, emosi kita bisa lebih terkendali, sebab ketika puasa kita diperintahkan untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, sekalipun itu halal jika kita sedang tidak berpuasa, apalagi hal-hal yang haram, pastilah harus dihindari. Kemudian last but not least, berpuasa juga agak ngirit, sebab waktu makan yang biasanya 3 x sehari, menjadi 2 x sehari…dan ketika berbuka, makan apa saja rasanya nikmat, sekalipun biasanya kita jenuh dengan menu yang itu-itu saja! Bagaimana…? Kepingin nyoba senin-kemis? Siapa takut….!

Rabu, 13 Mei 2009








Rumah bapak


Di waktu aku kecil, rumah bapak juga tempat aku tinggal, adalah rumah yang bagiku sangat besar. Aku ingat, dulu, ruang tamuku yang berukuran 10 x 12 meter itu sering dipakai untuk penataran karakterdes , karena bapakku menjadi ketua LKMD di desaku. Ruang tamu itu sudah ditembok, tetapi rumah belakang yang terdiri dari kamar-kamar, ruang makan, lumbung padi, ruang antara dapur dan ruang makan, dan dapur, masih terbuat dari papan dan gedheg(anyaman bamboo). Kami adalah keluarga besar. Penghuninya sekitar 12 orang. Aku berlima dengan saudaraku, bapak, Ibu, Mamak (kakak perempuan bapakku) dan suaminya, dan keponakan-keponakan bapak yang disekolahkan oleh bapak, sekitar 3 orang. Mereka disekolahkan bapak di sekolah-sekolah kejuruan, setelah tamat, bapakku menyekolahkan lagi adiknya, begitulah, kira-kira ada sekitar 8 keponakan yang disekolahkan bapak.
Sekarang Bapak ingin memugar rumah belakang, dibuat membujur memotong rumah depan. Sayangnya rumah yang baru ini agak terpisah dengan rumah depan, sehingga seolah-olah Kami mempunyai 2 rumah. Rumah belakang berukuran 9 x 14 meter. Lumayan besar, karena sudah ada rumah depan. Ketika rumah itu baru selesai sampai atap, pembangunan dihentikan, karena dananya terserap untuk keperluan lain, sehingga rumah itu agak terbengkelai. Kami tidak protes, meskipun rumah kami kini hanya berlantaikan tanah, dengan tembok bata merah. Rumah itu masih begitu-begitu saja, bahkan sampai kami kuliah, menikah dan punya anak.
Aku sedang tertegun memandangi rumah Bapak. Anganku melayang pada Bapak. Laki-laki gagah yang sangat aku banggakan. Posturnya tinggi besar, mirip dengan Presiden kita yang sekarang, tapi hidungnya mancung. (Kupegang hidungku yang besar dan pesek, tidak mirip hidung Bapak). Laki-laki itu terlihat berwibawa dan berkharisma, banyak orang yang segan dan takut padanya. Padahal beliau sebenarnya mempunyai hati sangat lembut, terbukti ketika aku boyongan sehabis melahirkan anakku yang pertama, diam-diam beliau menitikkan air mata menyaksikan anak dan cucunya diboyong oleh Sang menantu ke rumah mereka sendiri. Bapak memang sangat sayang pada anak-anaknya, meskipun tidak pernah menampakkan itu, supaya kami menjadi anak-anak yang kuat dan tidak cengeng. Maka Aku sangat tersentuh dan terharu ketika diam-diam kulihat kilauan bening di mata Bapak. Benar-benar surprise bagiku.
Bapakku saat itu menjadi Penilik Pembinaan Generasi Muda dan Olah Raga di Kecamatan, sedang sorenya Bapak mengepalai sebuah SMP swasta di Kecamatan juga. Sedang ibuku mengajar di sebuah SMP negeri di Kutoarjo. Kata orang-orang, seharusnya Kami bisa hidup berkecukupan, tapi nyatanya kami hidup sederhana. Sebenarnya kami tidak pernah ingin hidup berlebihan, kesederhanaan memang selalu diterapkan oleh Bapak. Dan Aku mensyukurinya, sebab dengan terbiasa hidup sederhana, kami selalu bisa menikmati hidup ini dengan sesungguhnya.
Aku anak kedua, kakakku laki-laki.Adikku masih 3 orang, 1 laki-laki, 2 perempuan. Tapi aku yang lebih dekat dengan Bapak, tak heran kalau aku sedikit tomboy, dan agak kasar untuk seorang anak perempuan. Aku sangat suka mengekor ke mana Bapak pergi, tentunya selain kalau beliau sedang dinas. Pada saat-saat tertentu, saat libur, Bapak pergi ke Tegalan yang kami miliki. Kearah timur rumahku, Bapak mempunyai tegalan, kalau mau ke sana harus melewati kuburan. Mungkin itu yang membuat kakakku tak suka ikut, karena takut dengan mitos-mitos kuburan yang biasanya menyeramkan, tapi aku enjoy saja berjalan di belakang Bapak sambil menyanyi “Halo-halo Bandung” atau “Maju tak Gentar”. Tegalan Bapak penuh ditanami jeruk, Aku sangat senang, memanjat sana sini, sambil mengelus-elus buah jeruk yang mulai ranum. Favoritku adalah pohon jeruk keprok. Buahnya agak gepeng, tapi besar-besar. Pohon ini khusus untuk kami petik dan kami konsumsi sendiri. Sedang yang keprok siam biasanya dijual. Saat itu Aku masih anak-anak dan sangat lugu, sehingga waktu aku TK, diam-diam kuajak 5 orang temanku ke tegalan, terus mereka kusuruh memetik jeruk sesukanya. Mereka senang sekali, mereka mencopot roknya untuk tempat buah jeruk sebanyak-banyaknya, sedang aku hanya tertawa-tawa senang melihat teman-temanku bersuka ria, tapi sorenya Bapak menegurku meski dengan geli juga, lain kali tidak boleh seperti itu. Ternyata ada tetanggaku yang melaporkan ulahku ke Bapak, padahal dalam pikiran kanak-kanakku, buat apa jeruk sebanyak itu kalau tidak untuk dibagi-bagikan. Toh biasanya Bapak juga membagi-bagikan buah jeruk itu ke para tetangga.
Selain ke tegalan, Bapak juga membeli banyak tanah pekarangan, meski ada beberapa yang letaknya agak jauh dari rumah. Bapak tidak pernah bisa berpangku tangan, tanahnya tidak ada yang dibiarkan kosong. Tak heran sampai sekarang kami bisa menikmati pekarangan yang penuh dengan pohon buah-buahan. Dari pisang, nangka durian, rambutan, jambu biji, jambu air, mangga, belimbing, kedondong, duku, sampai pete. Bahkan kelapapun masih banyak berbuah sampai sekarang meski pernah terserang hama. Bapak benar-benar mensyukuri nikmat Allah dengan mengelola tanah sebaik-baiknya, membuat aku malu, menjadi sarjana pertanian yang tak punya kemampuan bercocok tanam.
Kenanganku yang lain bersama Bapak,Aku sering ikut Bapak melihat wayang kulit. Biasanya Bapak diundang sebagai tamu kehormatan setiap ada tanggapan wayang, Aku senang ikut Bapak, sebab kalau menonton bersama Bapak, berarti aku juga bisa ikut menikmati jamuan gratis (he..he…!). Meskipun aku tidak betah melek, sehingga jarang Aku bisa menonton sampai malam, tapi itu sudah cukup membuatku hapal tokoh wayang, dari Batara kresna yang karakternya sama dengan Wisnu, sampai yang spesifik seperti Gatotkaca, Werkudara, Janoko sampai cakil. Pendeta Durnapun aku tahu.
Pada suatu kali, ada seorang wali murid yang datang ke rumahku, minta tolong agar anaknya yang tak lulus diluluskan. Hebatnya Dia berani menawarkan sawahnya pada Bapak sebagai imbalan bila Bapak bersedia meluluskannya. Katanya anaknya menangis meraung-raung mau bunuh diri kalau tak lulus, padahal pengumuman kelulusan baru esoknya. Bapak hanya tersenyum, dan menyuruh Si anak besok menghadap ke kantornya. Tapi entah nasehat apa yang Bapak berikan, anak itu akhirnya bisa menerima kalau dirinya tak lulus, dan bersedia mengulang. Tahun depannya ternyata dia bisa lulus. Sang wali murid datang lagi dengan wajah sumringah. Dia membawa oleh-oleh tempe raksasa, dibungkus daun, Bapak hanya tertawa, dan Aku kebagian tugas membuat tempe bacem. Ini pula yang menjawab misteri, mengapa Aku yang tomboy suka memasak. Sebab, Bapakku suka menikmati kuliner, sedang ibuku kurang suka memasak, maka jadilah Aku yang sering asyik mencoba resep bersama Bapak. Tak heran sampai kini, setiap kali menemukan resep baru, aku selalu ingat Bapak. Bersama Bapak Aku mengenal buntil, pelas, peyek, kuluban, sayur gori, sayur bobor, sayur daun papaya, daun ketela, yang semua bisa kami petik di kebun sendiri.. Terkadang Aku bersedih mengingat ini, apakah selama ini masakan yang kami buat kaya kolesterol sehingga Bapak harus kena stroke. Mengingat itu, air mataku selalu menetes tanpa kusadari. Bapak memang suka mangut lele, dan gurami. Ikan itu hasil kolam kami sendiri. Setiap menguras kolam, aku pasti ikut menceburkan diri. Bermain dalam Lumpur sungguh-sungguh merupakan pengalaman yang menyenangkan. Menangkap tawes, mujair, dan sepat. Kalau gurami dan lele aku tak berani menangkapnya, sebab sirip dan patilnya bisa melukaiku. Sungguh lain dengan anak-anakku sekarang, yang begitu malas berkotor-kotor dengan Lumpur. Yah…jaman sudah jauh berubah.
Rumah itu masih seperti dulu, berdinding bata merah yang bertonjolan, berlantaikan tanah, dengan kusen-kusen yang kusam, mataku terpejam dan air mataku menetes. Ketika kubuka mataku, kulihat Bapak sudah berdiri di depanku, tersenyum gagah, berwibawa tapi lembut, sementara rumahnya berkilau bagai kristal, berpendar-pendar diterpa kilau mentari , di tamannya ada sungai-sungai yang mengalirkan air susu, kebunnya ditumbuhi buah-buah anggur yang ranum bergelantungan,…Aku terkesima….!


Madiun, Mei 2009.
Kutulis Ketika kurindu pada Bapak yang telah berpulang ke Rahmatulloh 10 tahun yll.

Rabu, 06 Mei 2009

kURIKULUM KITA



PTK
UNTUK MENINGKATKAN
PROFESIONALISME GURU



PTK (Penelitian Tindakan Kelas ), akhir-akhir ini mejadi sangat familiar di kalangan para guru. PTK merupakan penelitian yang dilakukan di dalam kelas oleh para guru untuk membuat refleksi bagi pembelajaran yang dilakukan, sehingga bisa menemukan kesulitan dan solusi dalam pembelajaran melalui trial dan error. Lebih jauh dari itu, penyusunan PTK menjadi salah satu komponen dalam pengembangan profesi guru yang dituntut dalam kenaikan pangkat.

Sebenarnya, PTK adalah suatu karya ilmiah yang relative sederhana, mudah, dan murah dalam pembiayaannya. Sedang hasilnyapun akan sangat sophisticated bila PTK dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Sekarang kita bayangkan, seorang guru, dalam menyampaikan suatu proses pembelajaran, seringkali mengalami berbagai kendala, dengan adanya kesadaran untuk memperbaiki pembelajaran inilah timbul keinginan untuk menyusun PTK. Obyek penelitian sudah tersedia, yaitu anak didik dalam kelasnya masing-masing, sedangkan subyek atau penelitinya adalah Guru itu sendiri. Langkah penelitian bisa diintegrasikan dalam penyusunan Rencana Pembelajaran. Sedang data bisa diambil dari Dinamika penilaian Kognitif, Motorik dan Afektif yang sudah biasa diambil oleh Guru.

Tentu saja PTK ini akan menjadi mudah bila seorang guru benar-benar menjadi Guru yang professional. Apabila semua guru melaksanakan PTK, sehingga semua anak didik mendapatkan pembelajaran yang optimal, pastilah keberhasilan pembelajaran adalah sesuatu yang sangat mudah dicapai. 

Tapi sayangnya, PTK yang seyogyanya dilakukan oleh guru, pada prakteknya masih belum bisa berjalan sebagaimana mestinya. Seorang Guru yang seharusnya menyusun Laporan PTK, justru memesan PTK pada para calo PTK yang dapat dengan mudah ditemukan. 

Celakanya kalau para calo ini tidak paham seluk beluk pembelajaran, sehingga laporan yang dibuat sangat teoritis sekali. Sedang bagi guru yang terbiasa “membeli”, PTK tidak membawa manfaat apa-apa kecuali hanya mengorek-korek isi kantong untuk memenuhi persyaratan Penetapan Angka Kredit.

Sayang sekali, sekalipun para assessor Pendidikan seringkali bisa dengan mudah mengenali Laporan PTK palsu ini, sehingga dalam umpan balik penilaian Laporan PTK, seringkali tertulis, “Laporan Foto copy, Laporan Plagiator, Ngawur, dll, hal ini tidak membuat para guru jera, tetapi mengulangi perbuatan bodoh ini dengan memesan laporan PTK pada calo yang lebih bonafid. Sayang sekali bukan? 

Hal seperti inilah yang akan menghancurkan pendidikan di masa depan. Jadi tolong untuk bapak dan Ibu Guru, jangan sekali-kali memesan Laporan PTK, tapi jalanilah penelitian sebagai bagian dari pembelajaran, sehingga profesionalisme seiring sejalan dengan hasil pembelajaran.

PTK bukanlah momok, tetapi suatu cara untuk meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan kualitas pendidikan, jangan malah merangsang untuk melakukan kecurangan. Terima kasih untuk Bapak dan Ibu Guru, maafkan saya kalau terlalu lugas dalam menyampaikan fakta.

Sertifikasi guru



SERTIFIKASI GURU
PENGHARGAAN BAGI
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.


“Lha wong pahlawan tanpa tanda jasa, ya gajinya kecil…!” Seorang guru yang duduk di sebelah saya di bis berseloroh seperti itu. Saya hanya tersenyum. 
“Tapi sekarang kan seneng to Bu, sudah ada sertifikasi,…!” saya membalas selorohnya. “Ya..Alhamdulillah, bisa nabung untuk naik haji,” wajahnya menjadi cerah, dan matanya berbinar. 

Sertifikasi memang benar-benar memberikan angin segar bagi para guru. Selembar sertifikat dengan tulisan “telah ditetapkan sebagai Guru professional”, dengan tunjangan sebesar 1 kali gaji tentu saja membuat para guru bisa menikmati gaji ke-13 sebesar gaji pokok setiap bulan. 

Sebenarnya penghargaan itu tidak terlalu berlebihan, mengingat berpuluh-puluh tahun guru selalu digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagunya “Umar Bakri.
Umar Bakri..jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Tapi mengapa gaji guru
Umar Bakri selalu dikebiri….!
Lebih konyol lagi dahulu tetangga saya PNS bukan Guru, mengadakan syukuran hanya karena naik pangkat ke III/a diikuti dengan peningkatan penghasilan, lengkap dengan terpenuhinya barang-barang mewah yang kemudian dicapainya, padahal bapak saya yang Guru, saat itu sudah III/c, tetapi masih tetap hidup pas-pasan. 

Kelihatan sekali kesenjangan gaji guru dengan PNS yang lain. Alhamdulillah, sekarang Guru sudah dihargai layaknya PNS yang lain, dengan kenaikan pangkat 2 tahun sekali bagi guru yang berprestasi dan professional melalui penetapan angka kredit. Di samping itu, setelah pensiun, Guru juga mendapat penghargaan dengan dinaikkan satu tingkat pangkatnya seperti pangkat anumerta pada pegawai militer. Jadi tak heran kalau sekarang guru yang berumur 40-an tahun sudah menduduki Gol IV.

Kabar terbaru, DPR menurunkan anggaran pendidikan, karena terjadi kecemburuan social melihat para guru rame-rame naik haji dan berbangga hati. Kabar burung yang masih belum bisa dipertanggungjawabkan ini, tertulis dalam selebaran liar mengatakan, sertifikasi akan dihapus. Waduhh…kok tega banget ya…!

Tapi semoga itu hanyalah kabar burung yang merupakan wacana belaka. Meski demikian, semoga banyaknya penghargaan materiil dan non materiil tetap membuat guru rendah hati dan bersahaja, tidak menjadi guru yang meningkat penghasilannya meningkat pula nominal kreditnya di bank, sehingga kehidupannya masih tetap pas-pasan karena gajinya sebagian besar terserap untuk angsuran kredit, diikuti dengan etos kerja yang rendah karena sisa gaji yang untuk hidup sampai tanggal 15-pun tak sampai. Selamat untuk para Guru, semoga tetap menjadi guru yang amanah.

Selasa, 05 Mei 2009

Bulan mei bulan pendidikan


LONGLIFE EDUCATION
EDUCATION AS LONG AS LIFE


Bagi saya, belajar itu sesuatu yang menyenangkan, karena itu saya tak pernah
berhenti untuk belajar. Memang akan lebih menyenangkan apabila kita bisa
menempuh pendidikan formal, tidak hanya berhenti pada jenjang S1, tapi bisa
berlanjut ke S2, dan S3. Tapi karena berbagai alasan, seringkali kita tak dapat
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sebagai contohnya saya sendiri. Kalau ditanya pastilah saya ingin melanjutkan ke S2 bahkan S3, tapi kalau menilik kembali latar belakang saya yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, mungkin agak berlebihan kalau saya memaksakan diri untuk menempuh S2, tapi pasti akan lain kalau saya mempunyai karir dan jabatan tertentu yang menuntut saya untuk berlaku professional dan up to date, pastilah saya tidak akan ragu-ragu lagi untuk menempuh program S2, sekalipun mungkin harus bekerja keras untuk membiayai dan mencapainya.
Belajar, akan terasa menyenangkan dan mudah kalau kita bisa menyesuaikan dengan kondisi kita. Semisal dulu saya ingin mengambil akta mengajar, padahal Universitas paling dekat yang mempunyai program Akta berjarak sekitar 15 km dari rumah saya, dan perkuliahan pada sore sampai agak malam, padahal saya harus mengasuh anak-anak saya, maka saya tidak jadi memilih universitas itu, jadi saya mengambil program Akta di Universitas Terbuka (UT), sekalipun banyak teman saya yang mengatakan kuliah di UT sangat sulit, tetapi karena saya pikir itu lebih mudah saya lakukan, maka saya lebih memilih program ini di UT. Sebagai konsekuensinya saya harus rajin menyambangi kantor pos untuk memposkan tugas-tugas mandiri yang harus saya kirim ke kantor pusat di Jakarta, memesan buku lewat pos, dan berkonsultasi dengan pembimbing lewat telepon (dahulu Internet dan warnet masih belum memasyarakat, sehingga saya lebih mengandalkan kantor pos). Di sini saya belajar hanya dari modul, maka saya jadi mengerti, mengapa teman-teman saya jarang yang bisa lulus tepat waktu dan menganggap kuliah di UT sangat sulit, sebab mereka malas belajar, karena kuliah di UT betul-betul tergantung pada kemauan kita untuk belajar. Apalagi kalau tidak mau membaca modul, pastilah akan keteteran dan kesulitan mengerjakan soal-soal ujian yang memang sulit, karena disusun oleh para dosen yang tidak pernah bertatap muka dengan mahasiswanya.
Selain belajar secara formal, saya juga ikut belajar bersama suami, ketika beliau mengambil Magister Psikologi pendidikan. Saya memang tidak belajar secara formal, tapi paling tidak saya tertular oleh ilmu yang didapat suami, sebab saya juga rajin membaca buku-buku psikologi milik suami yang ternyata sangat menarik minat saya. Ditambah membantu mengerjakan tugas-tugas kuliah, membuat presentasi, mengetik makalah, dan berdiskusi dengan suami tentang bahan perkuliahan, membuat seolah-olah saya ikut kuliah bersamanya. Dengan menyelami ilmu psikologi membuat intuisi saya terasah, sehingga seringkali tebakan dan prediksi saya terhadap suatu masalah, baik masalah yang saya hadapi maupun masalah yang dialami suami seringkali tepat. Yah..Alhamdulillah, belajar memang tak selamanya harus duduk di bangku kuliah.
Sebenarnya, selama kita hidup, kita juga terus belajar menjalani kehidupan, bagaimana bermasyarakat, bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga, bagaimana membesarkan anak, mendidik, memecahkan problem kehidupan, semua menuntut kita untuk belajar. Karena itu, jangan berkecil hati bila tidak bisa menempuh pembelajaran secara formal, sebab kehidupan itu sendiri adalah ajang pembelajaran. Jangan pernah berhenti untuk belajar, karena semakin cepat kita belajar, pembelajaran lain akan segera menanti kita untuk dipelajari. Longlife education!!!