Selasa, 07 Juli 2009

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 4)



MELANGKAH DALAM KABUT PAGI

Perlahan kuturuni tangga yang konon berjumlah 275 tingkat. Beberapa penjual bunga menawarkan bunga liar. Aku kurang berminat, sebab aku lebih tertarik menikmati keindahan bunga itu saat masih tumbuh liar di sepanjang jalan setapak. Pemandangan setelah matahari terbit itu sungguh luar biasa. Langit benar-benar biru, Bromo bersinar keemasan, sementara kawah Bromo masih setia mengeluarkan asap dan bau belerang. Ternyata untuk turun lebih mudah dan cepat daripada ketika naik, yang sempat membuat aku terengah-engah. Dalam waktu kurang dari setengahnya ketika naik, aku sudah sampai di bawah. Pak Suyun masih setia menunggu dengan anak buah dan kuda-kudanya kalau kami masih berminat menunggang kuda kembali, tapi aku sudah puas. Kini kuingin menjajal kemampuanku berjalan kaki. Pak suyun memaklumi ketika kami menolak untuk naik kuda lagi. Tapi dia dan anaknya dengan kuda-kuda kesayangannya mengikuti kami dari belakang. Dia tawarkan kalau kami ingin ojeg motor. Biayanya hanya 15 ribu rupiah sampai ke penginapan. Katanya kalau kembali jauh lebih murah daripada kalau berangkat, tapi kami sudah memantapkan niat untuk jalan kaki. Akhirnya Pak suyun mengikuti kami sambil menunjukkan jalan kalau ingin melewati pura, dan jalan ke pathok-pathok yang akan memandu perjalanan kami menuju penginapan. Sesekali kabut tebal masih menyelimuti, membuat pandangan kami terbatas. Jep dan sepeda motor mulai ramai, bahkan ada yang sengaja menggeber-geber suara sepeda motornya, memaksaku untuk menutup telinga. Udara yang segar dan cuaca cerah sedikit menawarkan hangatnya sinar vmentari. Kami terus berjalan. Kulihat bule-bule berjalan berombongan hanya dengan kaos oblong dan celana bermuda. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan udara dingin. Dan hebatnya lagi, sebagian besar bule-bule itu justru memilih untuk berjalan kaki pulang balik dari penginapan ke pananjakan, dan kembali ke penginapan lagi. Bahkan turis-turis tetangga kamarku sudah berangkat sejak dini hari jam 2 malam menuju ke penanjakan. Kini mereka juga berjalan kaki lagi untuk kembali ke penginapan. Aku mengenalnya yang paling ramah, menginap di sebelah kamarku. Namanya Miss Rossi. Mereka betul-betul tangguh, tak seperti turis domestik yang lebih suka naik jeep , motor, atau kuda seperti aku. Sejenak tebersit rasa malu dalam diriku. Meskipun sama-sama berjalan, ternyata tak berapa lama mereka sudah berjalan jauh di depan. Kami sempat mampir sebentar melihat keadaan pura, tapi ternyata gerbangnya masih tertutup. Saat itu masih sekitar pukul 7 pagi. Ketika kami melanjutkan perjalanan melalui lautan pasir, anakku yang bungsu paling bersemangat, dia berjalan cepat di depan, sementara aku di tengah. Sedang anak sulung dan suamiku berhenti sejenak untuk meneguk kopi susu dalam termos mungil yang kami bawa. Tanpa sadar kami berjalan sendiri-sendiri, dan keadaan tiba-tiba sunyi. Sementara kabut kembali menyelimuti, menghalangi pandanganku. Sampai di pathok penunjuk arah aku bingung, sebab arahnya berbeda 90 derajad dengan jejak-jejak kaki dan jejak ban mobil maupun sepeda motor. Kutunggu suami dan anak sulungku. Untunglah suamiku masih agak hafal dengan arah yang kami tempuh, tapi aku panik, anak bungsuku menghilang. Aku takut kalau dia mengikuti arah panah yang berarti kembali ke arah Pananjakan. Sementara kabut membuat kami tak bisa melepaskan pandangan. Anak sulungku memanggil-manggil adiknya, tapi suaranya bagai ditelan lautan pasir yang luas. Keadan sepi, aku panik. Tapi suamiku diam saja. Kami terus berjalan sambil berharap-harap cemas, sampai akhirnya kulihat jalan beraspal, dan di bawah tugu perbatasan, kulihat anak bungsuku duduk terengah-engah. Alhamdulillah, aku bersyukur. Suamiku malah tertawa. Aku tak peduli. Kami memotong kompas melalui jalan setapak, sehingga rute lebih pendek karena tak perlu berjalan memutar. Menjelang cemara Lawang kulihat Gunung Bromo di kejauhan terlihat sangat indah, dengan kepundan kawah di sebelahnya sungguh-sungguh menakjubkan. Aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikannya.

Ketika melewati pasar kecil, aku mampir, tapi ternyata hanya dipenuhi penjual cindera mata seperti syal, kaos, topi, kaos tangan dll yang sudah kami punyai, jadi kami berpindah ke pasar sayur, tapi di situpun tak ada yang menarik, sehingga kami hanya mampir untuk sarapan menu standar, nasi pecel, tahu, tempe dan telur. It’s oke, kuliner yang kurang menarik.

Waktu menjelang pukul delapan, kami kembali ke penginapan dan berkemas untuk pulang.

Di perjalanan pulang kami beruntung, ada Bison yang siap berangkat. Bahkan kami diperbolehkan membayar hanya 20.000 per orang, lebih murah 5 ribu, daripada ketika berangkat. Ternyata Bison itu carteran para bule yang akan langsung ke Bali. Dan sebagaimana bangsa kita yang selalu mencari peluang, empat bangku kosong ditawarkan pada kami. Meski kami Cuma naik sampai ke Probolinggo. Sampai di Probolinggo kami turun, tapi ada 1 orang bule yang memegang tangan anakku, dan berkata I want you, two..!!! Kedua anakku melongo, sementara naluri keibuanku menghalangi turis itu, tapi ternyata dia mengacungkan kamera. Dan berkata..sama??? dengan logat aneh. Ternyata Si bule mengira anakku kembar, dan terpesona dengan anak Indonesia yang montok-montok ini, sehingga ingin mengabadikannya dengan kamera. (Ehmm....biar para bule tahu, kalau anak Indonesia gemuk-gemuk dan sehat! Weleh.!!!)

Dari Probolinggo kami siap melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan Madiun. Aku sudah rindu hangatnya rumahku. Aku sudah rindu dengan suara adzan yang bersahut-sahutan dari mushola-mushola yang banyak terdapat di sekelilingku. Ehm...Home sweet home. I’ll back to you....!


Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 3)


DI ATAS KALDERA BROMO.

Subhanallah..!!! Alhamdulillah. Seusai shalat subuh, baru kusadar, aku berada di ketinggian Bromo. Sedikit takut akan ketinggian ketika kulayangkan pandangan ke bawah gumpalan kabut serasa lautan yang bergelombang. Sementara di sampingku kawah Bromo juga terlihat putih tertutup gumpalan kabut. Sementara di timur baru ada garis merah samar menjelang terbit matahari. Waktu baru menunjukkan pukul 05.00 pagi. Suhu dingin memaksaku merapatkan kedua tanganku yang terbungkus kaos tangan mendekap dada. Sesekali tercium bau gas belerang tepat di bawah aku berdiri. Lebih tepatnya di belakangku. Kawah Bromo yang menggelegak itu tak terlihat karena tertutup kabut, semua hanya kabut. Aku tak berani berpindah dari tempatku berdiri. Di depan jurang kaldera, di belakangku kawah, dengan pembatas pathok yang berlobang besar-besar. Bila kabut itu pergi, akan terlihat bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Selama abad ke-20, gunung yang terkenal sebagai tempat wisata itu meletus sebanyak tiga kali, dengan interval waktu yang teratur, yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi 1974, sedangkan letusan terakhir terjadi pada 2004.

Dari tempatku berdiri, bisa kusaksikan setitik kecil bentuk pura di tengah kaldera. Bagi penduduk Bromo, yaitu suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo.

Di timur pelan-pelan semburat merah mulai melebar. Turis domestik maupun asing bersiap menyambut terbitnya matahari. Dari fotografer profesional sampai turis amatir berlomba-lomba menangkap keindahan panorama. Aku tak mau kalah, setiap 5 atau sepuluh menit aku ikut mengabadikan fenomena alam ini. Kabut silih berganti datang dan pergi, sampai akhirnya matahari muncul perlahan namun pasti. Tiba-tiba semua terang. Bromo yang kehitaman berubah coklat dengan sedikit nuansa hijau, kabut mulai tersingkap sejenak. Kini bisa kulihat kerumunan orang yang ingin naik tangga ke pananjakan, tempat saat ini aku berdiri. Kuda-kudapun mulai berdatangan. Rupanya pagi tadi baru aku sekeluarga yang berangkat naik kuda. Perjalanan dalam gelap pagi tadi membuatku lupa untuk berfoto sebagai rodeo. Tapi It’s oke, pengalaman yang kudapat lebih dari cukupuntuk menjadi kenanngan yang tak terlupakan. Dalam sinar mentari semua menjadi lebih indah. Dari kejauhan kulihat pura suku tengger tampak kecil, sementara kaldera terlihat seperti laut, padahal itu adalah hamparan pasir. Aku agak ragu untuk kembali dengan berjalan kaki. Tapi tak bijak rasanya kalau aku belum mencoba. Setelah puas mengagumi keindahan Bromo, aku bersiap turun untuk kembali ke penginapan .

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 2)


BERKUDA DALAM GULITA

Malam itu selepas shalat Isya’ kami merencanakan acara esok. Target utama mencapai Bukit pananjakan, tempat kawah Bromo bergolak menyemburkan gas belerang. Semula aku mantap untuk berjalan kaki ke sana dini hari nanti sambil menyaksikan matahari terbit. Tapi, setelah siang tadi aku mengalami sendiri nafasku tinggal satu-satu ketika mencoba menuruni bukit dan mengitari padang ilalang sampai memutar balik ke penginapan, aku tak yakin akan sanggup mencapai kaldera dengan berjalan kaki. Ada 4 alternatif:

Alternatif 1. Gratis, dengan berjalan kaki. Tapi dengan resiko tinggi, mengingat kami tak mempersiapkan lampu senter, kurang mengenal medan, dan kemungkinan kabut tebal yang menyelimuti bisa menyesatkan. Dan yang pasti, kami akan kecapekan.

Alternatif kedua: Naik jeep, dengan biaya 165 ribu, tapi harus berjalan kaki lagi dengan jarak lumayan jauh, atau 275.000 ribu sampai di perbatasan pathok2 yang telah dipasang melingkari kawasan bromo. Lumayan merogoh kocek, tapi enak dan cepat sampai tujuan.Tapi mungkin kami tak bisa menikmati keindahan bromo karena harus berdesakan di dalam jeep dan pandangan relatif terbatas. Apalagi dalam kondisi gelap, kami pasti tidak akan bisa menikmati panorama sekitar.

Alternatif 3. Ojek sepeda motor, 75.000 ribu per orang. Relatif lebih mahal, tapi pandangan bebas, dan lebih cepat. (Tapi aku agak risih kalau harus membonceng dengan kondisi jalan yang naik turun dan penuh rintangan. Sebab sepertinya aku harus sering2 memeluk pengendara kalau tidak ingin jatuh. ). Dari segi tantanganpun relatif kurang menarik, sebab aku sudah terbiasa naik sepeda motor.

Alternatif 4: Naik kuda dengan ongkos 100.000 ribu per-ekor, sampai di dekat tangga menuju kawah bromo. Untuk 4 orang, jumlah itu cukup membuat kami berpikir berkali-kali, bahkan Pak Suyun, si empunya kuda memberi alternatif kalau kami boleh menyewa 3 ekor saja, sebab kedua anakku bisa berboncengan naik 1 ekor kuda. Sampai beberapa menit kami masih belum menemukan kesepakatan, akhirnya kami berjanji akan menghubungi Pak Suyun kalau kami sudah mengambil keputusan.

Pukul dua dini hari aku terjaga. Udara dingin sungguh menggigit menembus sampai ke tulang, padahal aku sudah memakai kaos tangan, kaos kaki, topi sampai ke wajah, lengan panjang dan jaket, celana panjang tentu saja. Mungkin aku perlu masuk ke sleeping bag, tapi sayangnya kami sudah bersepakat, sleeping bag yang hanya sebiji itu tidak jadi dipergunakan, supaya adil. Maklum, hanya ayah yang punya, sedang kami belum terpikir untuk membeli, karena kami belum pernah naik gunung.

Ayah sudah bangun, dan segera mengambil air wudhlu. Aku masih sedikit bermalas-malasan, lenganku yang terbungkus jaket terasa dingin seperti es. Kulihat gigi ayah gemeletuk, membuat aku ragu untuk mengambil air wudhlu. Tapi dengan Bismillah kucoba melawan hawa dingin yang semakin menggigit. ”Nyes....!!! Lenganku terasa membeku seperti es loli raksasa ketika aku mulai mengguyurkan air ke tanganku. Di kamar mandi kudapati sebungkus mentega yang mengeras seperti keju, menandakan udara sangat dingin. Mungkin ada tamu yang meninggalkan mentega, dan penjaga penginapan yang mungkin buta huruf mengira mentega itu adalah sabun cuci, sehingga menaruhnya di kamar mandi. Entahlah.

Selesai shalat sunnah, aku kembali berembug dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk menyewa 3 ekor kuda, tapi hanya untuk sekali jalan, sekembalinya kami berniat untuk jalan kaki saja. Pak suyun menyetujuinya, tapi meminta kami menunggu sampai pukul 4. Aku dan suami kembali berembug, agar kami tak ketinggalan shalat subuh. Kami berencana untuk shalat subuh di atas kuda, jadilah aku menutup semua aurat, bahkan tak lupa kerudung segiempatku yang tipis kulipat kecil-kecil dan kukalungkan di leher sebagai syal.

Tepat pukul 04.00 Pak Suyun dan anak buahnya menjemput kami di penginapan. Aku agak ragu dengan kekuatan kuda-kuda yang relatif kecil itu, apalagi ada satu ekor kuda yang harus menahan beban berat 2 anakku yang gemuk-gemuk. ”Kudanya kuat untuk 2 orang,Pak?” Aku masih ragu. ”Kuat, Bu!” kata Anak buah Pak Suyun. Okelah, dengan sekuat hati kukuatkan dan kumantapkan hatiku. Tapi aku masih merasa tak nyaman melihat kedua anakku berdesakan di atas pelana yang sempit, sementara sang kuda juga terlihat keberatan dengan beban di punggungnya, tapi dengan Bismillahirrohmannirrohim, akhirnya kami berjalan pelan-pelan. Aku agak kikuk, karena sebelumnya belum pernah naik kuda. Aku sebenarnya tak tega harus menunggangi kuda dengan beban tubuhku yang lumayan berat (lumayan apa berat banget!!!!:(

Jantungku berdetak kencang dan terasa gamang. Ternyata menunggang kuda tak semudah yang kubayangkan. ” Kaki Ibu direntangkan lurus, badan tegak, dan jaga keseimbangan. Ingat ya, Bu...jangan sampai membungkukkan badan...! Tak usah takut, saya akan membantu Ibu.” Mas Edi yang menuntun kudaku memberi instruksi. Aku pura-pura rileks, padahal sebenarnya aku ngeri. Apalagi ketika kuda berjalan menuruni tanjakan yang cukup curam, keseimbanganku sempat terganggu dan sedikit oleng, sang kudapun berontak, untunglah Mas Edi berhasil menenangkan sang kuda. Aku tak henti-hentinya beristighfar. Aku mengkhawatirkan anak-anakku, kalau suamiku kelihatannya cukup enjoy. Maka ketika Pak Suyun menyarankan untuk menambah satu kuda aku menyanggupinya. Aku tak ingin mempertaruhkan keselamatan kedua anakku dengan satu kuda dalam perjalanan yang penuh tanjakan dan jurang. Jadilah kami berempat beriringan di atas kuda. Sesekali jeep dan sepeda motor yang berseliweran membuat kuda yang kunaiki rewel, membuat jantungku berdegup lebih keras, dan berharap cepat sampai ke tujuan. Tapi ternyata itu tak seberapa, pada suatu titik tertentu, Pak Suyun dan anak buahnya membelokkan arah tujuan kudanya, melewati lokasi yang sama sekali tak ada penerangan, hanya beberapa kerlip bintang yang sedikit memberikan cahayanya. Cengkeramanku pada tali semakin kuat.Kuda berbelok mengambil jalan pintas melalui semak belukar menuruni perbukitan. Tiba-tiba kudaku terperosok, membuat aku panik dan menjerit, celakanya secara reflek aku membungkuk. Kontan saja sang kuda menaikkan kaki belakangnya, hampir saja aku terlempar, untunglah Mas Edi sigap menenangkan sang kuda dan Alhamdulillah aku berhasil menjaga keseimbangan dan kembali ke posisi semula sambil mencengkeram tali yang mengikat kuda erat-erat. Astaghfirullah....Innalillahi..Alhamdulillah, apa saja kuucapkan untuk mengusir kepanikan. Untunglah aku berada di paling belakang, jadi anak-anak dan suamiku tak tahu apa yang terjadi padaku, sehingga mereka tak ikut panik. Untunglah setelah itu kuda mencapai lautan pasir, aku agak lega. Sebenarnya kalau suasana hatiku tenang, malam itu sangat indah, meski angin dingin terasa menampar-nampar wajahku, satu-satunya anggota tubuh yang terbuka, sementara dari kaki sampai ujung kepala kubungkus rapat. Kulirik beberapa rasi bintang di langit, tapi Cuma mengintip. Aku takut bila kudongakkan wajahku, maka sang kuda yang sensitif akan bisa merasakannya dan rewel lagi. Bahkan batuk yang siap meletuppun kutahan sekuat tenaga, aku tak ingin mengambil resiko sehingga sang kuda akan melonjak untuk kedua kalinya. ” Kudanya belum pernah diajak keluar malam hari, Bu..jadi agak bingung dengan suasana malam..!” (What’s..???? Jadi....?????Aku ingin protes mendengar hal itu, memangnya aku mau dijadikan korban disuruh naik kuda yang belum pernah diajak keluar malam?? Tapi kurasa protesku itu akan sia-sia, jadi lebih baik kucoba untuk rileks...) Bibirku masih tetap komat-kamit menyebut Asma Allah. Dari rasa ngeri perasanku berubah menjadi kasihan ketika dalam keheningan yang mencekam kudengar dengus nafas kuda yang megap-megap dan suara nafas Mas Edi yang ngos-ngosan berjalan sejauh itu sambil menuntun kuda yang kunaiki. Ingin rasanya aku gantian menuntun kuda saja daripada nongkrong dengan kecemasan yang luar biasa di atas punggung kuda. Tapi rasanya itu bukan tindakan yang bijak, tetapi justru akan membuat runyam keadaan. Jadi aku diam saja, kucoba untuk konsentrasi dan bekerjasama, berkomunikasi dalam telepati dengan patnerku untuk menempuh misi menuju kaldera Bromo. Tiba-tiba Pak Suyun memberi isyarat pada Mas Edi, aku merasakan ada sesuatu yang gawat. Mas Edi berkata pelan, ” Saya carikan jalan yang bagus ya,Bu..!” Aku hanya mengangguk, tak peduli dia bisa melihat anggukanku apa tidak. Mas Edi memutar arah kuda untuk menghindari lobang, dan itu sungguh-sungguh bukan hal yang mudah. Sang kuda sedikit berontak, sementara Mas Edi mencoba sekuat tenaga memutar kudanya. Aku diam ..ternyata rute kami saat itu sudah memasuki bukit-bukit karang terjal. Banyak cerukan, lekukan, tonjolan bongkahan cadas, dan entah apa saja. Tapi dalam penglihatanku, saat itu kami menapaki jalan setapak yang memang agak rata, tapi lebarnya hanya sekitar setengah meter, dengan lobang di kanan kiri. Atau mungkin bahkan jurang. Langkah Mas Edi tersendat-sendat di sampingku, sementara sang kuda bekerja keras menunaikan tugasnya. Aku tak berani menatap jurang di kanan kiri, tapi juga tak berani memejamkan mata. Jalan sesempit itu, dilalui kuda yang sensitif dan rewel, dan Mas Edi yang kepayahan menuntunnya, sementara jurang di kanan kiri dan pandangan yang hanay beberapa meter karena terhalang kabut, membuat aku serasa meniti jembatan Sirathal Mustaqim. Ya Allah Ya Rabbi...maafkan segala kesalahan hambaMu. Jika sedikit saja sang kuda rewel dan Mas Edi lengah, aku akan terlempar dan terhempas di atas runcingnya bukit karang. Aku serasa Ibu Suri yang dilarikan dengan diam-diam untuk menghindari musuh yang menyerbu kerajaan. Di depan jurang, di belakang musuh siap menghadang, sungguh-sungguh mencekam. Astaghfirullah....kucoba mengingat semua amal-amalku yang susah kuingat. Ya Allah ..Ya..Rabbi...beri kesempatan padaku untuk bertobat dan memperbaiki amal...! Maafkan segala kesalahan hamba, kebodohan hamba, keangkuhan hamba...! Sungguh dalam keagunganMu, hamba hanyalah setitik debu yang hilang dalam sekali sentil....!

”Sudah sampai,Bu..!” Mas Edi membuyarkan imaginasiku yang melayang ke mana-mana. ”Alhamdulillah....!!! Terima kasih Ya Allah.!!!!! Di depanku menjulang deretan anak tangga yang masih harus kudaki untuk mencapai kawah Bromo. Sangat indah seperti tangga para bidadari untuk mencapai khayangan. Subhanallah..!!!Kaki-kakiku masih gemetar ketika menapak ke tanah. Kuingin cepat-cepat mencapai puncak,...dengan kaki gemetar kutapaki deretan tangga itu selangkah demi selangkah...kakiku terasa lumpuh, tapi Alhamdulillah...sungguh kusaksikan keindahan ciptaanmu ya Rabbi...!Amazing..!! Kulepas syalku, dan kuhamparkan kerudung segiempat itu. , Kutunaikan shalat Subuh di puncak Bromo, karena rencanaku untuk sholat di atas kuda gagal total.. Subhanallah..!!! Aku siap menikmati keindahan surgawi menunggu terbitnya matahari. Subhanallah..sungguh indah ciptaanMu, Ya Allah...!!!!!!!

Tadabbur Alam (The Amazing of Bromo 1 )




BROMO, I’M COMING

Sudah lama aku ingin berwisata ke Bromo. Dari gambar-gambar dan liputan yang pernah kutahu, aku merasa Bromo sangat indah. Sudah lama Bromo menjadi tempat wisata, tapi aku kurang tahu, bagaimana sebenarnya kondisi di sana. Baru setelah anak-anakku tumbuh besar, Aku dan suamiku berniat mengunjungi Bromo. Semula pengertianku rancu, antara Bromo sebagai tempat wisata, dan Bromo sebagai tempat avonturir untuk melatih jiwa kepecinta alaman. Tapi mungkin lebih cocok kalau keduanya digabungkan. Gunung Bromo (dari bahasa Sansekerta/Jawa Kuna: Brahma, salah seorang Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.

Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Setelah browsing sedikit tentang bromo, dan referensi dari suami yang pernah ke sana, kami mempersiapkan keperluan kami. Baju hangat tentu saja, lengkap dari kaos kaki sampai topi rajutan kami persiapkan. Air minum dan snack ala kadarnya juga kami persiapkan, tapi di sana juga banyak toko yang menjual camilan, jadi kami tak terlalu mempermasalahkan perbekalan makanan. Semula kami bermaksud membawa tenda, tapi setelah tahu di sana penginapan relatif murah, kami lebih memilih untuk menginap saja di penginapan. Apalagi kami berniat pergi naik bis, jadi lebih baik kami membawa perlengkapan yang pokok-pokok saja.

Pukul 12.00 tengah malam kami berangkat dari rumah. Pada pukul setengah satu dini hari kami baru mendapat bis langsung ke surabaya. Menjelang subuh kami sampai di surabaya dan langsung menuju masjid besar di dalam terminal. Setelah waktu subuh tiba, kami berjamah dengan para pelancong lain. Semula kami mau langsung cabut ke Probolinggo, tapi berhubung para wadyabalaku sudah merasa lapar, terpaksa kami sarapan di terminal dengan menu standar. Soto ayam.

Sampai di Probolinggo matahari sudah menaburkan sinarnya, kira-kira pukul 08.00 pagi. Kami langsung mencari bison, angkutan berwarna biru muda yang akan membawa kami ke Bromo. Ternyata belum ada penumpang lain, jadilah kami harus ekstra sabar menunggu angkutan itu penuh. Kira-kira dua jam lamanya menunggu baru Sang Bison mulai berlari. Ongkos naik bison ternyata dua kali lipat ongkos dari Surabaya ke Probolinggo. Yaitu 25.000 per orang(kalau mau sedikit ulet bisa ditawar menjadi 20.000/orang), padahal ongkos Surabaya – Probolinggo hanya 13.000/orang.

Sepanjang perjalanan, mataku terkantuk-kantuk, ternyata bison ini mesinnya lumayan joss. Meski jalanan penuh tanjakan dan berliku, sang sopir cukup lihai, dan sang bison bisa diandalkan. Buktinya aku sampai tertidur dihembus angin sepoi, padahal jalanan melingkar-lingkar dan terus naik. Suamiku tak hentinya mencubit pipiku agar terjaga, supaya tidak melewatkan pemandangan indah sepanjang perjalanan. Sungguh berlainan dengan pengalamanku naik ke telaga sarangan dengan angkutan yang mesinnya meraung-raung dan tersendat-sendat membuat pening dan mual. Tapi bison ini berjalan dengan mulus, padahal ketika aku memandang ke bawah, ke jalanan yang sudah kami lalui, terbersit rasa ngeri karena kami sudah berada di atas ketinggian. Sementara jurang di kanan kiri, sebagai mana layaknya jalanan di pegunungan. Kalau saja sang sopir tak mengenal medan dengan baik, entahlah, sebaiknya aku tak membayangkan hal-hal seperti itu. Semula di kanan kiri banyak lahan yang ditanami sawi, kool, jagung, bunga-bunga mawar, dan pancawarna, tapi semakin ke atas hanya kulihat tanaman bawang prey. Kemarau membuat petani memilih untuk menanam tanaman ini, tapi kalau musim penghujan, biasanya mereka menanam kentang.

Karena asyik memandang kanan kiri, tak terasa kami sudah sampai di cemara lawang ( portal ke kawasan taman nasional Bromo-Tengger). Berhubung kami berencana untuk menginap, bison langsung mengantar kami ke penginapan di cemara indah. Hotel ini lumayan bagus merangkap restoran(hotel dan restoran). Tarifnya juga relatif murah, hanya 75.000 - 100.000 sehari semalam/kamar dengan 2 tempat tidur lengkap. Tapi sayangnya cemara indah sudah penuh, jadilah kami diantar ke Homestay yang jaraknya kira-kira 100 meter dari Cemara indah, namanya Homestay Tengger. Di sini tarifnya lebih murah 70.000 rb./kamar(ternyata itu harga calo, kalau langsung ke pemilik hanya 60.000 ribu/kamar). Akhirnya kami memutuskan untuk menginap di sini. Saat itu semua kamar masih kosong. Kami memilih kamar di tengah, nomor 4.(ada 8 kamar berderet.)

Aku sudah tak sabar untuk mandi dan membersihkan diri, tapi...wowww...airnya sangat dingin. Seperti diguyur air es yang baru dikeluarkan dari kulkas. Bulu-bulu di tanganku langsung merinding. Akhirnya aku hanya cuci muka dan mengambil air wudhlu. Kulihat jam di HP memperlihatkan pukul 12.30. Sudah masuk waktu dhuhur, kami langsung shalat. Sayangnya kamar kami terlalu sempit, dan mushola tidak ada, jadi kami tidak bisa sholat berjamaah. Terpaksa kami shalat bergantian.

Pukul satu sudah masuk waktu makan siang, tapi entah kenapa kami tak merasa lapar, mungkin kuliner yang ada kurang menarik. Sungguh sayang, kami tidak bisa berwisata kuliner di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk melihat pemandangan Bromo dari bukit di dekat penginapan. Tanah tempat kami berdiri adalah perbukitan, sementara di bawah kami adalah lautan pasir yang merupakan kaldera Bromo. Sepanjang perbukitan itu dipagari besi, membuat kami merasa tak nyaman, tiba-tiba kami menemukan jalan pintas untuk menuju ke bawah, menembus semak-semak dan pepohonan berupa jalan setapak. Semula aku ragu mengingat lututku pernah terkilir dan sedikit rematik. Untuk turun kami harus berjalan melingkar-lingkar dengan kondisi jalan yang berlobang, berceruk, seperti lembah dan bukit. Seorang petani yang baru naik melalui jalan itu memberi tahu kalau jalan untuk turun sudah dekat, tentu saja, mereka sudah terbiasa naik turun sejauh itu. Dengan memantapkan hati kami bersama-sama menuruni bukit. Sayangnya sepanjang perjalanan banyak kotoran kuda. Ini sangat mengganggu dan membuat kami tak nyaman. Mungkin kalau kami melewatinya pada malam hari, kami bisa terperosok ke dalam gundukan lembek itu. Hii.....!!!!

Dengan sedikit tersengal kami sampai juga di bawah. Kami langsung disambut padang ilalang yang gersang dan berdebu, maklum saat ini kemarau telah menjelang. Setelah padang ilalang, lautan pasir yang luas terbentang sampai ke bukit pananjakan, tempat kawah Bromo bersemayam. Dari tempat kami berdiri, terlihat gunung Bromo yang indah, Pura di tengah lautan pasir, dan tangga menuju bukit pananjakan yang terlihat sangat kecil. Aku ingin cepat-cepat melangkah ke sana, tapi saat itu tengah hari. Meski kami tak merasakan panas, kata suamiku kami bisa terbakar matahari, jadi kami memutuskan untuk mencapai pananjakan di malam hari. Saat ini kami hanya menyusuri padang ilalang yang gersang. Untuk berbalik kembali ke jalan yang tadi, rasanya sangat jauh dan tinggi, jadi kami terus berjalan ke arah timur, dan memutar naik ke bukit yang lebih rendah, tembus ke jalan beraspal yang cukup membuat aku kehabisan nafas. Di sepanjang jalan dipasang pathok-pathok dari beton. Kira-kira 10 pathok aku berhenti, anak-anak dan suamiku mentertawakanku, tapi kakiku benar-benar sudah letih, dan nafasku megap-megap. Ternyata jalan ini menuju ke arah pintu keluar Cemara lawang, tak jauh dari penginapan. Alhamdulillah...!!! Karena lapar kami membeli bakso. Tapi setelahnya kami agak ragu, mengingat semua penduduk Tengger asli beragama Hindu (mengingatkanku saat di Pulau Bali), membuat perutku terasa tak nyaman.. Setelah itu kami memilih kuliner yang aman. Nasi pecel dan telur. Sayang sekali kulinernya kurang menarik, sehingga selalu saja menu kami seperti itu. Nasi pecel telur ceplok, nasi pecel telur dadar, nasi pecel semur telur. Sedang mie rebus dan nasi goreng kadang juga dipesan anakku, tapi aku sudah kehilangan selera kuliner.

Sampai di penginapan baru pukul 15.00. Kami segera cuci tangan dan kaki, terus istirahat, mandi (meski dengan secepat kilat dan menggigil), serta.shalat Asar. Sayang sekali sorenya kami ketinggalan menyaksikan matahari terbenam, karena kami keluar pukul 17.30, tapi kabut mulai datang, sehingga matahari tenggelam dengan diam-diam. Shalat Maghrib dan Isya kami tunaikan dengan berpedoman pada waktu. Sungguh, saat itu Aku sangat merindukan suara adzan yang biasanya bersahut-sahutan dan selalu muncul setiap kali waktu shalat tiba di sekeliling rumahku.