"AZAS DOMISILI" PERWALI. IDE BRILLIANT PEMICU KONTROVERSI
Saat ini saya lagi "gak punya kerjaan", kecuali menunggu hasil seleksi masuk sekolah ke SMP yang diikuti anak ke-2 saya. Anak saya mungkin adalah salah satu pendaftar yang terkena dampak dari peraturan walikota madiun yang menerapkan azas domisili . Yang maksudnya, pendaftar dari luar kota harus bersabar dulu menunggu sampai semua anak kota mendapat sekolah, barulah anak luar kota boleh masuk. Pengertian lebih halus untuk mengatakan bahwa mulai tahun ajaran ini, anak luar kota dilarang bersekolah di kota. Saat anak saya mendaftar RSBI,dan mengikuti tes, peraturan itu belum disahkan, sehingga saya cuek saja mendaftarkan anak saya ke kota, apalagi nilainya memenuhi syarat dan lolos tes awal. Tapi sekarang, saya harus menerima resikonya dengan lapang dada, dan melupakan hasil tes RSBI. Sebab anak saya tidak mungkin bersaing dengan anak-anak yang memang berdomisili di kota. Saya sempat ngakak, ketika mendengar Nilai UANnya anak kota, meskipun hanya 18,00 lebih berpeluang diterima daripada anak saya nilainya 27 koma sekian karena dari luar kota. Tapi tidak demikian dengan suami saya yang emosi dan jengkel sampai2 menyanyikan "lagu-lagu perjuangan dan kata-kata manis" yang bisa memicu diabetes dan stroke...:-D)))
Sebenarnya, ketika kita menerima dengan hati lapang dan kejernihan hati, perwali itu merupakan salah satu solusi untuk menangkal arus globalisasi yang semakin deras menghanyutkan peradaban. Azas domisili yang kelihatannya tidak manusiawi itu sebenarnya sangat Islami. "Tetanggamu yang paling dekat pintu rumahnya itulah yang paling berhak atas sedekahmu". Tapi maaf saya lupa itu hadistnya siapa.
Sebenarnya, azas domisili ini apabila betul2 disadari dan dipatuhi justru akan menguntungkan daerah. Apabila dahulu bibit-bibit unggul daerah banyak yang ditarik ke kota, dan banyak yang memang sengaja lari ke kota, dengan azas domisili ini, mau tak mau, anak daerah juga akan bersekolah di daerah, kecuali kalau memaksakan diri, maka rankingnya di bawah anak kota yang nilainya paling rendah.
Walikota justru berusaha memberikan tempat pada semua sekolah untuk mendapatkan kesempatan yang merata. Anak-anak yang dahulu tidak bisa masuk sekolah yang disukai banyak orang, sekarang mendapat kesempatan, meski resikonya, sekolah-sekolah di kota harus mau menerima, kondisi anak didiknya yang sekarang, sebab bukan yang terbaik, tapi bibit yang ada di kotalah yang harus dididik, bagaimanapun keadaannya, sekaligus bisa membuktikan, apabila sekolah di kota memang layak diunggulkan, maka mendidik anak-anak kota yang mungkin nilai dan prestasinya kurang bagus bisa menjadi bagus. SEbaliknya, untuk putra-putra daerah, akan terpacu mencintai daerahnya dan menumbuhkan rasa percaya diri, seperti layaknya sekolah di daerah yang dipilih anak saya, ternyata mendapat banyak pendaftar, hingga nilai terendah yang bisa diterima adalah 27,25, atau rata-ratanya sekitar 9 koma. Tentunya dengan input yang dilihat dari nilainya berkualitas bagus, sangat sayang bila para pendidik dan semua komponen pendidikan tak mampu mengolahnya menjadi output yang unggul. Karena itu ini akan menjadi tantangan bagi daerah, dengan bibit-bibit sebagus itu apakah akan disia-siakan. Tidak ada lagi kurang semangat mengajar karena kemampuan anak didiknya di bawah rata-rata. Di samping itu, pendidikan akan lebih bisa dipertanggungjawabkan, sebab bila dilaksanakan dengan serampangan apabila dihinggapi kecurangan, yang rugi adalah daerah itu sendiri, sebab menjadi konsumen sekaligus produsen. Mungkin seperti azas "Swadesi"nya Mahatma Gandhi. Karena itu saya berharap besar pada pendidik di daerah. Sehingga azas domisili yang sempat saya ibaratkan seperti antre minyak tanahseharian, tapi pas giliran saya pas habis. Ngenes ya?? Ternyata tidak, justru membuat saya ngakak, sebab minyak habis gak papa, tapi diganti kompor dan gas gratis...:-D)))))). Sebab saya percaya dengan input seperti itu, semangat belajar akan tinggi untuk meraih prestasi, di samping keuntungan jarak dekat dan biaya murah yang tentu saja penghematan luar biasa atas waktu, tenaga, dan biaya bagi saya.
Oke, selamat bagi semua yang diterima di sekolah yang disukai, belajarlah dengan rajin, sebab tentunya bapak2 kita yang duduk di pemerintahan tidak akan tinggal diam, beliau2 pasti akan memberikan tempat pada putra-putra daerah yang mencintai daerahnya, karena azas domisili telah dicanangkan. Jangan bilang tampang ndeso rejeki kota, tapi berbanggalah dengan tampang ndeso rejeki ndeso, sebab tinggal di desa adalah anugerah. Di saat orang kota tinggal berdesak-desakkan, bahkan "tumpuk undhung" di rumah2 susun, kita masih bisa berguling2 di tanah luas menghijau. Selamat belajar yang rajin, karena daerah kita siap menanti uluran tangan anak-anak daerah sendiri, bukan dari daerah lain. Yook maree......
Sebenarnya, azas domisili ini apabila betul2 disadari dan dipatuhi justru akan menguntungkan daerah. Apabila dahulu bibit-bibit unggul daerah banyak yang ditarik ke kota, dan banyak yang memang sengaja lari ke kota, dengan azas domisili ini, mau tak mau, anak daerah juga akan bersekolah di daerah, kecuali kalau memaksakan diri, maka rankingnya di bawah anak kota yang nilainya paling rendah.
Walikota justru berusaha memberikan tempat pada semua sekolah untuk mendapatkan kesempatan yang merata. Anak-anak yang dahulu tidak bisa masuk sekolah yang disukai banyak orang, sekarang mendapat kesempatan, meski resikonya, sekolah-sekolah di kota harus mau menerima, kondisi anak didiknya yang sekarang, sebab bukan yang terbaik, tapi bibit yang ada di kotalah yang harus dididik, bagaimanapun keadaannya, sekaligus bisa membuktikan, apabila sekolah di kota memang layak diunggulkan, maka mendidik anak-anak kota yang mungkin nilai dan prestasinya kurang bagus bisa menjadi bagus. SEbaliknya, untuk putra-putra daerah, akan terpacu mencintai daerahnya dan menumbuhkan rasa percaya diri, seperti layaknya sekolah di daerah yang dipilih anak saya, ternyata mendapat banyak pendaftar, hingga nilai terendah yang bisa diterima adalah 27,25, atau rata-ratanya sekitar 9 koma. Tentunya dengan input yang dilihat dari nilainya berkualitas bagus, sangat sayang bila para pendidik dan semua komponen pendidikan tak mampu mengolahnya menjadi output yang unggul. Karena itu ini akan menjadi tantangan bagi daerah, dengan bibit-bibit sebagus itu apakah akan disia-siakan. Tidak ada lagi kurang semangat mengajar karena kemampuan anak didiknya di bawah rata-rata. Di samping itu, pendidikan akan lebih bisa dipertanggungjawabkan, sebab bila dilaksanakan dengan serampangan apabila dihinggapi kecurangan, yang rugi adalah daerah itu sendiri, sebab menjadi konsumen sekaligus produsen. Mungkin seperti azas "Swadesi"nya Mahatma Gandhi. Karena itu saya berharap besar pada pendidik di daerah. Sehingga azas domisili yang sempat saya ibaratkan seperti antre minyak tanahseharian, tapi pas giliran saya pas habis. Ngenes ya?? Ternyata tidak, justru membuat saya ngakak, sebab minyak habis gak papa, tapi diganti kompor dan gas gratis...:-D)))))). Sebab saya percaya dengan input seperti itu, semangat belajar akan tinggi untuk meraih prestasi, di samping keuntungan jarak dekat dan biaya murah yang tentu saja penghematan luar biasa atas waktu, tenaga, dan biaya bagi saya.
Oke, selamat bagi semua yang diterima di sekolah yang disukai, belajarlah dengan rajin, sebab tentunya bapak2 kita yang duduk di pemerintahan tidak akan tinggal diam, beliau2 pasti akan memberikan tempat pada putra-putra daerah yang mencintai daerahnya, karena azas domisili telah dicanangkan. Jangan bilang tampang ndeso rejeki kota, tapi berbanggalah dengan tampang ndeso rejeki ndeso, sebab tinggal di desa adalah anugerah. Di saat orang kota tinggal berdesak-desakkan, bahkan "tumpuk undhung" di rumah2 susun, kita masih bisa berguling2 di tanah luas menghijau. Selamat belajar yang rajin, karena daerah kita siap menanti uluran tangan anak-anak daerah sendiri, bukan dari daerah lain. Yook maree......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar