Rabu, 09 Desember 2009

Cerpen( Ini fiksi,lho!)

-->

ISTRIKU




“Hati-hati lho,Pak!” Jaman sekarang semua serba mungkin. Siapa tahu omongan tetangga itu benar, kalau setiap hari istri Panjenengan, janjian sama seseorang. Semula mungkin jenuh karena di rumah sendirian, tapi siapa tahu ketemu sama seseorang yang cocok sama istri panjenengan, jadi berlanjut, terus panjenengan pasti tahu to kelanjutannya kalau dua orang berlainan jenis saling tertarik?” Celoteh temanku itu cukup membuat aku bingung, sedikit menggoyahkan kepercayaanku pada istriku, yang kukenal sangat sederhana dan tak pernah neko-neko. Iya,..tapi siapa tahu, jaman sekarang kan semua serba mungkin. Istriku itu memang agak sedikit terlalu ramah pada orang, sering waktu kubonceng di sepeda motor, dia tersenyum pada seorang lelaki, katanya tukang bakso yang sering lewat depan rumah, lain waktu menyapa lagi orang lain, katanya bakul ayam, tukang sayur, bakul buah, dokter puskesmas, perangkat desa, semua orang disapa, membuat aku keqi berat. Aku tidak boleh terlalu memberi kebebasan padanya, di sini, aku dan istriku sama-sama jauh dari kampong halaman, jadi agak aneh kalau istriku kenal dengan banyak orang. Dia terlalu lugu untuk mengenal lingkungan yang penuh dengan kepalsuan. Sering dia pulang belanja marah-marah, beli daging, setelah bungkusnya dibuka di rumah, isinya koyor semua, daging alot. Beli buah dikasih busuk, beli sayur, banyak ulatnya. Dia benar-benar terlalu percaya pada orang, dan itu tidak boleh dibiarkan.

“Dik,….!” Kupanggil istriku dengan setengah ragu. Ehmmm…!” istriku hanya menjawab panggilanku dengan gumaman yang tak jelas dan acuh tak acuh. “Kok Cuma ehmmm..! Aku memprotes jawaban istriku dengan sedikit melotot.

“Dalem Kangmas…!” Istriku malah cengengesan sambil mengedipkan matanya tanpa menghiraukan mataku yang terbelalak. Dia memang begitu, kalau aku marah, malah pura-pura tak paham kalau aku marah, seolah-olah sedang bercanda. Tapi kalau aku salah ngomong, dia pasti ngamuk dan bisa berhari-hari mendiamkanku. Dan itu jelas siksaan berat bagiku, sebab istriku adalah satu-satunya tempatku mencurahkan isi hati, dari kejengkelanku pada teman sekantor, tentang murid-muridku yang kadang kurang ajar, tentang politik, agama, social, pusingnya mendidik anak, dan segalanya, bahkan kami kadang-kadang bisa berdebat sengit sampai seperti orang adu mulut kalau sudah berbeda pendapat tentang kebenaran suatu ilmu. Tapi khusus untuk perdebatan ini kami tak pernah sampai saling mendiamkan.

‘Dik, kata orang-orang…! Waduh..gosip kok didengar, itu kan ghibah,Mas! Bs jd mqlah fitnah. Belum selesai ngomong ist  riku sudah menjawab omonganku, membuat aku sedikit naik pitam. “Dengar dulu, itu akibatnya kalau kamu sering keluar, pergi gak tentu tujuan, jadi omongan tetangga. Aku kan sudah bilang, urus saja rumah dan anak-anak kita, untuk apa sih kamu setiap hari keluar, wanita itu tempatnya di rumah, di samping suami dan anak-anaknya,…”Aku tersadar dari amarahku, istriku terlihat pias, diam mematung, dan dia menatapku dengan pandangan terluka. Hanya itu, dan yang kutakutkan terjadi, dia mulai membisu, dan kalau kucoba untuk bicara, jawabannya hanya sepotong-sepotong, itu artinya istriku sedang merasa tidak nyaman, sebab dia pernah bercerita kepadaku, dia akan menjadi sangat pendiam di tengah orang-orang yang tidak disukainya, tapi akan berubah sangat cerewet dan tak terbendung kalau dia berada di tengah orang-orang yang dianggapnya menyenangkan. Jadi mudah saja aku tahu intensitas kedekatan istriku dengan teman-temannya, kalau mereka bilang istriku adalah orang yang pendiam, pastilah istriku kurang suka dengan orang itu, tetapi kalau ada yang bilang istriku cerewet, bisa dipastikan istriku merasa nyaman berteman dengan orang itu. Dan sekarang istriku tidak hanya pendiam, tapi membisu, itu artinya dia sedang merasa sangat tidak nyaman. Aku benar-benar bingung menghadapinya.

Sebenarnya istriku adalah orang yang penurut dan tidak pernah menuntut macam-macam. Sejak pertama kali menikah, dia langsung ikut saja ke mana aku pergi. Kuajak mengontrak rumah yang super sederhana di desa yang sepi, dengan kamar mandi di luar rumah, tanpa atap, diapun tak mengeluh, meski aku tahu pasti, dia sangat tersiksa, sehingga selalu mandi pada malam hari, malu kalau kelihatan, siapa tahu ada orang memanjat pohon kan bisa kelihatan tuh. Diapun tak pernah komplain meski sering kutinggal berhari-hari membimbing murid-muridku pecinta alam berlatih mendaki gunung, dari gunung Lawu , Gunung Gede, Pangrango, bahkan sampai Gunung Rinjani. Dia tak pernah takut kutinggal sendiri waktu dulu kami belum punya anak, sampai-sampai tetanggaku yang masih percaya pada mistik, jin, demit dan gendruwo sampai heran, kok istriku berani sendirian tinggal di rumah, padahal dia kan orang jauh, dikiranya istriku orang kota seperti aku, padahal dia kan aslinya tinggal di desa juga, jadi tak asing dengan lingkungan desa yang sepi dan sunyi.

Lain daripada itu, istriku juga tidak seperti wanita pada umumnya, dia tak suka memakai perhiasan, ribet katanya. Perhiasan yang kubelikan hanya disimpannya, bahkan ada yang dijual ketika kami butuh dana, dan dia juga tak menyesal,. Kalau ingin kubelikan baju, dan harganya mahal, dia pasti menggeleng kuat-kuat, dia tak suka barang mahal,”Membuat kita merasa sayang, takut rusak, takut hilang, dan itu sangat menimbulkan rasa tidak nyaman bagiku, selalu begitu katanya. Sepeda motorpun begitu, dia lebih suka memakai superkap tahun 80-an milikku yang spionnya tinggal satu, lampu ritingnya sudah pecah, tebengnya sudah bulukan. Enak…nyaman, enggak ada maling yang mengincar sepeda motorku, biarpun kutinggal belanja berjam-jam, begitu katanya. Dia sangat sebal kalau terpaksa memakai sepeda motorku yang masih gres aku selalu mewanti-wanti, hati-hati, kalau ditinggal dikunci stang, titipkan ke penitipan, dsb, pasti buru-buru dikembalikannya sepeda motorku, dan dia segera mengeluarkan motor butut kesayangannya. Sambil cengengesan distarternya sepeda motor dengan suara nya yang masih halus dan wesss..dia meluncur dengan santainya tanpa menghiraukan tatapan melecehkan, dan kritikan orang yang menyuruh beli yang barulah, ganti yang lebih bagus, tukar tambah, atau kreditlah. dia hanya tersenyum acuh…Mana ada urus ,..katanya cuek.

Sebenarnya istriku cukup terpelajar, dia seorang sarjana pertanian, dengan IP di atas 3,5 lulusan sebuah perguruan tinggi negeri di kota Solo. Tapi entah mungkin belum rejekinya, dia tak pernah lolos ikut ujian saringan PNS, sedang untuk bekerja di swasta,sangat sulit mencari pekerjaan untuk kota sekecil Madiun. Bahkan dia juga mengambil akta mengajar karena ingin menjadi guru, tapi lagi-lagi Dia tidak diterima menjadi guru di SMA swasta sekalipun. Dia malah bosen sendiri, meskipun sebenarnya dia sangat suka menjadi guru. Dia marah-marah, karena menurutnya penguji sebuah SMA swasta yang baru berdiri sangat tidak bonafit, meskipun kupikir, mungkin istriku yang memang kurang menguasai materi, tapi dia bersikeras membela dirinya.

“ Masa’ Aku ditanya apa arti pembelajaran kontekstual, lha Aku lupa! Pernah baca, tapi aku memang tidak tahu. Meski Aku mencoba menjawab, pembelajaran yang interaktif…! Eh..pengujinya malah tertawa menyebalkan. Menurutnya pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai bahan pembelajaran. Padahal setelah bukunya kubaca, pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang tidak sekedar mementingkan “konten” atau materi pembelajaran, tetapi lebih ditekankan pada konteks, atau penyampaian pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Harusnya kalau kujawab pembelajaran yang interaktif kan betul..!

” Lha yang mau melamar kerja kan kamu, ya harusnya kamu patuh pada apa yang diinginkan penguji, Dik! Kalau kamu keras kepala seperti itu ya tidak ada sekolah yang mau menerima kamu. Makanya jangan suka membantah kalau dikasih tahu suami, nanti kalau kamu terbiasa patuh pada aturan, suatu saat pasti ada yang menerimamu bekerja,” Aku mencoba menasehatinya.

Huh…sudah males. Yang menguji saja enggak mudheng, sekolah gak bonafid. Gak lagi-lagi deh. Enakan juga mengarang cerpen…!” Istriku manyun sambil membereskan meja makan. Memang cerpennya ada beberapa yang berhasil dimuat. Tapi karena dia masih penasaran ingin bekerja, jadinya dia meninggalkan hobinya itu. Alhamdulillah sekarang dia sudah sadar, bahwa menulis cerpen lebih cocok baginya.

Beberapa hari terakhir ini dia sedang bersemangat belajar web. Katanya ingin menawarkan sesuatu lewat internet. Marketing on line, Mas..! Katanya sok yakin. Aku sering kesal dibuatnya, Tanya ini itu yang sebenarnya aku sendiri tak paham, akhirnya kubelikan saja buku-buku tentang web. Kemarin dia merengek-rengek minta di scankan foto-fotonya. Dia gembira, tapi besoknya marah-marah, katanya enggak bisa upload, dan minta dibelikan buku tentang photoshop. Sengaja kusetting foto-foto itu dalam format word, jadi tidak bisa diupload, harusnya kan JPEG , JPG dan lain-lain semacamnya. Biar saja dia bingung dan putus asa, tetapi ternyata tidak, dia malah semakin penasaran. Akhir-akhir ini dia sudah terlihat ceria lagi, tapi bersamaan dengan itu, berhembus kabar kurang sedap, kata tetangga, istriku setiap hari pergi meninggalkan rumah, bukan saat-saat anak pulang sekolah , seperti biasanya, tapi sekitar satu atau dua jam lebih awal. Sebenarnya istriku selalu berpamitan padaku, kalau sebenarnya dia ke warnet, untuk belajar web, sebab kalau belajar internet di rumah sering trouble, dan tarifnya juga lebih mahal. Tapi tak urung omongan tetangga membuat telingaku risih juga, maklum di desa, jarum jatuhpun terdengar.

Sengaja aku pulang lebih awal, kebetulan aku kosong dua jam, tapi dua jam terakhir aku harus balik lagi karena masih mempunyai jam mengajar. Rumah terlihat sepi, semua jendela dan pintu tertutup, mengindikasikan kalau rumahku kosong. Kulihat halaman sudah bersih, terlihat lantai teras masih agak basah karena baru dipel. Kubuka pintu utama dengan kunci serep yang kubawa. Di dalampun semua terlihat bersih dan rapi, bahkan di meja makan sudah tersedia menu hari ini, sayur asem, dadar jagung, dan bandeng bumbu Bali, Majic jar juga menyala, menandakan ada isinya. Kamar mandi juga bersih dan harum. Aku agak lega, berarti istriku tidak pergi tergesa-gesa. Kucoba telepon istriku, ternyata benar, dia ada di warnet. Sebenarnya tidak ada yang salah, tapi siapa tahu, dia mengaku ke warnet, tapi ada di tempat lain.

Sepeda motor istriku terparkir di depan warnet. Aku tahu pasti itu, karena sangat mudah menemukan sepeda motor milik istriku, di sini rata-rata semua sepeda motor baru, dan sepeda motor istriku terlihat sangat nyleneh , tak heran kalau sering menjadi ejekan orang. Kuparkir sepeda motorku di halaman warnet, kuintip satu persatu bilik-bilik kecil tempat para netter asyik bercengkerama dengan internet. Dan…Masya Allah..istriku berdua dengan seorang lelaki di bilik sesempit itu…?Darahku mendadak naik ke kepala, dengan kasar kucengkeram tangan istriku yang terlonjak kaget, Pulang…! Kataku lantang…kuseret dia pulang, tapi dia meronta-ronta, semakin membuat aku memperkuat cengkeramanku. “Bayar dulu…bisiknya pelan,”. Dengan setengah hati kubiarkan dia ke kasir, dan ternyata kasir itu adalah laki-laki yang tadi bersama istriku di bilik internet. Tanpa berkata istriku menstarter motornya, aku mengikutinya dari belakang.

“Aku tadi lagi latihan upload foto, makanya aku minta diajari sama Mas-e yang jaga warnet. Jangan berpikir yang bukan-bukan to, Mas. Untung tadi aku bisa menjaga emosi, kalau enggak kan kita jadi tontonan orang,” Sesampai di rumah istriku langsung menjelaskan duduk perkaranya. Sebenarnya aku agak malu, tapi untuk menjaga gengsi dan wibawaku, Aku berkata,” Kamu apa-apaan, berdua dengan orang yang bukan mukhrim, hanya membawa malapetaka saja. Sekarang latihan Internet di rumah saja,” Aku memerintah dengan suara yang kubuat sewibawa mungkin, Istriku patuh tanpa protes. Kuajari juga dia mengupload foto, dan mengubah format word menjadi JPEG, dia tersenyum-senyum, seperti anak-anak yang baru saja dibelikan mainan baru., sudah lupa pada apa yang baru saja kulakukan padanya.

Ah istriku, kadang dia memang masih seperti anak-anak, maklum jarak usia kami yang sepuluh tahun membuat kami menjadi pasangan yang berbeda dekade.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar