Sabtu, 02 Mei 2020

Kenapa Harga Telur Anjlok 13 ribu/kg?





Setelah sempat melonjak sekitar 30 ribu/kg, kini harga telur anjlok sampai 13 ribu/kg. Susah membayangkan, bagai nama nasib  peternak ayam petelur. Di saat harga pakan dan pemeliharaan mahal, harga telur justru anjlok sangat fantastis.
Kemarin saya pesan telur secara online dengan harga 19 ribu/kg. Tetapi karena pasokan terlambat, baru dikirim hari ini. Ternyata harganya justru turun menjadi 17 ribu/kg. Untuk menjawab keheranan saya, saya mencoba mencari informasi dari grup kuliner yang kebetulan sedang membahas harga telur.
Agus Suryobuwono, seorang anggota grup memposting bahwa harga telur di Pasar Krempyeng, Sidoarjo secara ecer 15500/kg.
Sedangkan, Eliaa dari Kediri, Heny dari Blitar, dan Ana dari Baron nganjuk menuliskan dalam komennya bahwa harga telur di daerahnya masing-masing mencapai 13.000/kg. Sementara dari Semarang menuliskan harga di sana berkisar antara 19,20,21 ribu/kg.
Dilla, dari Jaksel Lebak Bulus, menuliskan harga telur sekitar 20 ribu/kg. Meski ada juga yang melaporkan harga telur masih tinggi, sekitar 25.000-26.000 seperti yang dituliskan oleh Mutiara Tan Egek, tapi kurang jelas domisilinya di mana.
Terlepas dari begitu bervariasinya harga telur, dari beberapa pernyataan bisa disimpulkan, anjloknya harga telur disebabkan oleh : 
1. Pasokan telur ke kota-kota besar terhambat karena adanya penutupan jalan. Sehingga stok yang sudah siap didistribusikan jadi tertahan. Untuk menghindari telur busuk, akhirnya dijual secepatnya dengan harga murah.
2. Pasokan telur sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pedagang dan rumah makan seperti penjual martabak, nasi goreng, mie dll saat ini banyak menutup usahanya karena wabah, sehingga pasokan telur yang berlimpah tidak terserap pasar, akhirnya diobral dengan harga murah, daripada membusuk.
3. Di saat menjelang lebaran biasanya pasokan telur melimpah karena banyaknya usaha kue-kue kering yang menjamur. Tapi khusus menjelang lebaran tahun ini, banyak pengusaha kue kering yang menutup dan menghentikan usahanya. Akhirnya telur kembali tidak terserap. Untuk mengatasi keadaan ini telur diobral dengan harga murah.
Anjloknya harga telur ini disambut gembira oleh banyak orang yang segera mencanangkan pesta telur, tapi tak sedikit pula yang menyatakan keprihatinannya. Bahkan ada yang mengkhawatirkan telur akan hilang dari peredaran, karena peternak yang putus asa akibat rendahnya harga telur akan memilih meninggalkan usahanya dan memilih bidang lain.
Ada juga yang mengajak untuk memborong  telur, sehingga mendorong meningkatnya kembali harga telur ke harga normal.
Di tengah keprihatin ini diharapkan para penentu kebijakan bisa mengendalikan dan menstabilkan harga telur yang kacau seperti saat ini. Perlu sensitifitas dan kepedulian untuk menghargai jerih payah para peternak, khususnya ayam petelur. Sungguh ironis dan tidak sebanding,  di saat harga pakan membubung, harga telur justru anjlok. Semoga wabah ini cepat berlalu, dan para penentu kebijakan mampu memberi solusi dan mengambil langkah tepat untuk menstabilkan harga telur.